SUARA TRENGGALEK – Polemik iuran warga untuk pengadaan mobil siaga di Desa Sukowetan, Kecamatan Karangan, Trenggalek yang diketahui oleh Kepala Desa setempat mendapat perhatian pakar hukum Ibnu Maulana Zahida.
Dalam surat iuran yang dikeluarkan oleh panitia pengadaan dijelaskan besaran nominal partisipasi warga minimal Rp 50.000. Surat tersebut juga ditandatangani oleh Kepala Desa.
Menanggapi polemik tersebut, pakar hukum asal Trenggalek Ibnu Maulana Zahida menyebut ada potensi menjadi ajang pungutan liar (pungli) pada proses iuran di Desa Sukowetan itu.
Dalam hal ini, ia menyoroti ketidakjelasan unsur panitia pengadaan mobil siaga desa yang bertanggung jawab atas beredarnya surat permintaan partisipasi masyarakat Desa Sukowetan untuk pengadaan mobil tersebut.
“Surat iuran yang beredar meminta warga membayar iuran minimal Rp 50.000 per KK, untuk membeli mobil siaga. Itu bisa menjadi pungutan liar jika mengatasnamakan pemerintah desa,” tegasnya.
Dirinya menerangkan, bahwa pengadaan mobil siaga desa seharusnya berasal dari Dana Desa (DD) atau Alokasi Dana Desa (ADD). Pemerintah Desa Sukowetan sepatutnya mengakomodasi pengadaan mobil siaga dari sumber tersebut, bukan meminta iuran dari masyarakat.
“Dari segi pandangan hukum, iuran ini bisa menjadi pungli karena panitia pengadaan mobil bersifat tidak jelas. Konsekuensi bagi warga yang tidak membayar iuran tidak diketahui, begitu pula siapa yang bertanggung jawab dan mengawasi pengadaan tersebut,” jelasnya.
Diterangkan Ibnu, menurutnya dalam pengadaan mobil siaga desa tersebut perlu ada kejelasan, terutama mengenai pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan serta perawatan mobil di masa mendatang.
“Kalau pengadaan bersumber dari Dana Desa, maka sudah jelas yang bertanggung jawab sepenuhnya adalah pemerintah desa,” tandasnya.
Ia juga menerangkan jika pengadaan mobil siaga bisa melibatkan sumbangan dari masyarakat, namun sumbangan tersebut harus bersifat sukarela, bukan melalui iuran yang nominalnya ditentukan dan diinstruksikan melalui surat resmi.
“Intinya, jika pemerintah desa ingin mengumpulkan dana dari sumbangan masyarakat, harus ada komunikasi dengan Bupati atau Wali Kota setempat, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Desa Pasal 69 Ayat 4,” ujarnya.
Diimbuhkan Ibnu bahwa dalam undang-undang tersebut mengatur tentang rancangan peraturan desa terkait anggaran pendapatan dan belanja, pungutan, tata ruang, serta organisasi pemerintahan desa.
“Dalam prosesnya, pemerintah desa dapat menerima sumbangan dari masyarakat, namun terlebih dulu harus berkomunikasi dengan Bupati. Setelah peraturan desa terbentuk dan dievaluasi oleh Bupati, barulah pemerintah desa diperbolehkan melaksanakannya,” pungkasnya.