SUARA TRENGGALEK – Nilai tukar rupiah berhasil menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Kamis (27/3/2025). Berdasarkan data Bloomberg, rupiah naik 0,15 persen atau 25 poin ke level Rp 16.562 per dolar AS.
Analis pasar uang, Ibrahim Assuaibi, menyebut bahwa pergerakan rupiah masih dipengaruhi oleh kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump. Terutama setelah Trump mengumumkan rencana penerapan tarif 25 persen untuk impor produk otomotif mulai 2 April 2025.
“Pasar dengan hati-hati menilai potensi dampak tarif ini,” ujar Ibrahim. Menurutnya, kebijakan tersebut bisa berdampak luas terhadap ekonomi global, termasuk permintaan minyak dan stabilitas pasar keuangan.
Dampak Tarif Impor AS terhadap Ekonomi Global
Industri otomotif merupakan salah satu sektor dengan konsumsi energi terbesar, terutama minyak. Penerapan tarif impor berpotensi meningkatkan harga kendaraan, yang pada akhirnya dapat menekan penjualan mobil dan memengaruhi sektor terkait.
Kebijakan Trump ini mendapat kecaman dari berbagai negara, termasuk Eropa, Kanada, Tiongkok, dan Meksiko. Negara-negara tersebut bahkan mengancam akan mengambil tindakan balasan terhadap AS.
Sementara itu, ketegangan geopolitik antara Ukraina dan Rusia masih berlanjut. Perundingan damai yang diinisiasi AS kembali menemui jalan buntu setelah kedua pihak saling menuduh melanggar perjanjian.
Masalah Pajak Indonesia Jadi Sorotan Bank Dunia
Di dalam negeri, isu perpajakan juga menjadi perhatian. Bank Dunia melaporkan bahwa kinerja pengumpulan pajak Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara lain. Rasio pendapatan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia dikategorikan sebagai salah satu yang terendah di dunia.
“Informasi ini menjadi sinyal bagi pemerintah untuk terus melakukan reformasi perpajakan,” ujar Ibrahim. Ia menyoroti bahwa pada 2021, tax ratio Indonesia turun sekitar 2,1 poin persentase.
Bank Dunia juga menyoroti rendahnya kontribusi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) badan terhadap total penerimaan pajak. Pada 2021, kedua instrumen ini hanya menyumbang 66 persen dari total pajak yang diterima negara.
Akibat ketidakpatuhan terhadap PPN dan PPh badan serta kebijakan perpajakan yang belum optimal, Indonesia diperkirakan kehilangan potensi penerimaan pajak hingga Rp944 triliun dalam periode 2016-2021.