SUARA TRENGGALEK – Konsulat Jenderal Australia di Surabaya, Glen Askew, mengapresiasi kesiapan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, BPBD Trenggalek dalam menghadapi potensi bencana. Hal ini disampaikan saat melakukan kunjungan kerja ke Kantor BPBD Trenggalek, Kamis (27/2/2025).
Dalam kunjungan tersebut, Glen Askew memuji inovasi, edukasi masyarakat, dan sinergi Pentahelix yang dibangun BPBD Trenggalek. Menurutnya, langkah ini bisa menjadi contoh bagi daerah lain yang memiliki potensi bencana tinggi.
Kunjungan ke kantor BPBD dan kepolisian menjadi agenda rutin Konsulat Jenderal Australia untuk memperkuat komunikasi dan koordinasi. Glen menyebutkan, komunikasi ini penting mengingat kemungkinan warga Australia yang berkunjung ke daerah-daerah di Indonesia bisa saja menghadapi situasi darurat.
“Kunjungan ke sini luar biasa sekali. Ini kota yang sangat indah, pemandangannya bagus, hijau, damai. Banyak persiapan dari BPBD, dan itu sangat mengesankan,” ujar Glen Askew.
Plt Kepala Pelaksana BPBD Trenggalek, ST. Triadi Admono, menyambut baik kunjungan tersebut. Glen Askew juga berkesempatan meninjau alat-alat canggih milik BPBD, termasuk pusat kendali Pusdalops, serta menanam pohon sebagai simbol dukungan terhadap program Net Zero Karbon Trenggalek.
Triadi menjelaskan bahwa BPBD terus memperkuat mitigasi bencana melalui edukasi rutin di sekolah dan desa, serta memastikan sistem peringatan dini (EWS) berbunyi setiap tanggal 26 untuk mengingatkan masyarakat akan potensi tsunami.
Salah satu inovasi yang mendapat apresiasi adalah aplikasi Si Bentar (Siaga Bencana Trenggalek) yang memudahkan masyarakat melaporkan kejadian bencana melalui WhatsApp. Aplikasi ini dilengkapi fitur penting seperti informasi cuaca, nomor darurat, dan panduan permintaan bantuan.
“Dengan dukungan dari Kominfo dan layanan Pusdalops 24 jam, masyarakat bisa lebih mudah mengakses informasi dan mendapatkan bantuan saat terjadi bencana,” jelas Triadi.
Triadi juga menekankan pentingnya keterlibatan semua elemen masyarakat, termasuk TNI, Polri, relawan, dan media. Kolaborasi ini memastikan respons cepat saat bencana terjadi, sehingga pemerintah tidak sekadar menjadi penonton.
“Kami berpegang pada rumusan 20-20-20. Dalam 20 detik setelah kejadian, masyarakat harus siap mengungsi ke ketinggian 20 meter untuk menghindari potensi tsunami akibat megathrust,” pungkasnya.