PERISTIWA

TGX Kerja Trenggalek, Program Pemenuhan Hak Ketenagakerjaan Penyandang Disabilitas

×

TGX Kerja Trenggalek, Program Pemenuhan Hak Ketenagakerjaan Penyandang Disabilitas

Sebarkan artikel ini
TGX Kerja Trenggalek
Rapat koordinasi program penguatan pemenuhan hak ketenagakerjaan penyandang disabilitas.

SUARA TRENGGALEK – Pemerintah Kabupaten Trenggalek saat ini terus berupaya mewujudkan pembangunan inklusif, termasuk di bidang ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas.

Upaya tersebut juga sesuai RPJMD Bupati, dimana TGX kerja harus memastikan bahwa semua masyarakat termasuk disabilitas memiliki hak yang sama.

Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Perinaker) Trenggalek, Christina Ambarwati menegaskan pihaknya tengah menyiapkan pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD) Bidang Ketenagakerjaan untuk memastikan kelompok disabilitas mendapat akses kerja yang setara.

“Sesuai RPJMD Bupati, Trenggalek berkomitmen pada pembangunan inklusi. Kami memastikan semua masyarakat, termasuk disabilitas, memiliki akses yang sama di bidang ketenagakerjaan,” kata Christina, Jumat (31/10/2025).

Ia juga menjelaskan bahwa sesuai peraturan pemerintah wajib menyediakan kuota kerja bagi penyandang disabilitas, yaitu 2 persen di sektor pemerintahan dan 1 persen di sektor swasta, sesuai peraturan pemerintah.

Namun hingga kini, Trenggalek belum memiliki data lengkap terkait kemampuan dan sertifikasi tenaga kerja disabilitas.

“Persoalan hari ini, kita belum punya data tentang kompetensi atau sertifikat keahlian penyandang disabilitas. Padahal itu penting untuk bisa menawarkan mereka ke perusahaan sesuai kebutuhan,” ujarnya.

Christina menambahkan, pihaknya juga menyiapkan pengantar kerja khusus disabilitas yang bertugas mempertemukan pencari kerja dengan perusahaan sekaligus memberikan pendampingan.

“Pengantar kerja ini tidak hanya untuk mempertemukan, tapi juga melakukan mentoring agar mereka bisa menyesuaikan diri dengan tempat kerja,” jelasnya.

Pihaknya juga mengakui jija tantangan terbesar masih terletak pada stigma terhadap disabilitas yang dianggap tidak produktif.

Karena itu, Dinas Perinaker berencana menggandeng komunitas disabilitas, guru SLB, hingga lembaga pendidikan untuk membangun pemahaman inklusif di semua sektor.

“Masih ada anggapan disabilitas tidak produktif atau mengganggu kinerja. Itu yang perlahan kita advokasikan baik di pemerintahan, perusahaan swasta, maupun dunia pendidikan,” tambahnya.

Sementara itu, pendiri Yayasan Inklusif Trenggalek, Taryaningsih menilai regulasi yang ada sebenarnya sudah cukup kuat untuk mendukung pemenuhan hak para penyandang disabilitas.

Sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 telah mewajibkan pemerintah dan perusahaan swasta mempekerjakan penyandang disabilitas dengan kuota 2 persen dan 1 persen. Namun, penerapannya di lapangan masih lemah.

“Secara regulasi sudah jelas, tapi pemerintah perlu mendorong lebih kuat agar perusahaan dan BUMD menyediakan lapangan kerja bagi disabilitas,” ujarnya.

Taryaningsih menyoroti masih minimnya penyandang disabilitas Trenggalek yang bisa mengisi formasi kerja karena sebagian besar lowongan mensyaratkan lulusan S1.

Ia menyarankan pemerintah memberikan beasiswa khusus bagi disabilitas agar dapat melanjutkan pendidikan tinggi.

“Kalau formasi mensyaratkan S1, ya pemerintah seharusnya beri beasiswa. Misalnya satu desa satu sarjana disabilitas, supaya nanti bisa ikut formasi,” katanya.

Ia juga mengusulkan agar pemerintah dan perusahaan berbagi tanggung jawab dalam pembiayaan gaji untuk tenaga kerja disabilitas, terutama bagi mereka dengan keterbatasan intelektual.

“Di beberapa daerah luar, pemerintah ikut menanggung sebagian gaji disabilitas. Cara seperti itu bisa diadopsi agar lebih banyak disabilitas yang bekerja,” ungkapnya.

Menurutnya data sementara, baru beberapa perusahaan di Trenggalek yang telah mempekerjakan disabilitas, di antaranya pabrik rokok boy dan wowin dengan sekitar tujuh pekerja disabilitas.