SUARA TRENGGALEK – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Trenggalek menjatuhkan vonis 14 tahun penjara kepada terdakwa Supar alias Imam Syafii (52). Putusan tersebut dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum pada, Kamis (27/2/2025).
Sidang pembacaan putusan dipimpin Ketua PN Trenggalek Dian Nur Pratiwi, dan dimulai sekitar pukul 11.25 wib, sedangkan terdakwa terpantau telah tiba di PN Trenggalek pada pukul 10.45 wib.
Imam Syafii alias Supar merupakan pemilik pondok pesantren Mambaul Hikam yang berada di Desa Sugihan, Kecamatan Kampak, Kabupaten Trenggalek. Supar menjadi terdakwa kasus pelecehan seksual terhadap santriwatinya hingga melahirkan seorang bayi laki-laki.

Majelis Hakim Vonis 14 Tahun Penjara
Usai sidang pembacaan putusan, juru bicara Pengadilan Negeri (PN) Trenggalek, Revan Timbul Hamonangan Tambunan, menyampaikan bahwa terdakwa dinyatakan terbukti bersalah berdasarkan dakwaan alternatif kedua.
Terdakwa Imam Syafii alias Supar dijerat dengan Pasal 81 ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang telah diperbarui menjadi Perpu Nomor 1 Tahun 2016.
“Terdakwa dijatuhi pidana penjara 14 tahun dan denda sejumlah Rp 200 juta, subsider kurungan selama 6 bulan penjara,” kata Revan.
Revan juga menjelaskan dalam putusan dan konsekuensi hukum selain pidana penjara, majelis hakim juga menjatuhkan denda sebesar Rp 200 juta dengan ketentuan subsider enam bulan kurungan jika denda tidak dibayarkan.
Selain itu, putusan dari majelis hakim terdakwa juga diwajibkan membayar restitusi kepada korban sebesar Rp 106.541.500, yang harus diselesaikan maksimal 30 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
“Jika terdakwa tidak membayar restitusi, maka harta bendanya akan disita dan dilelang oleh jaksa. Jika hasil lelang tidak mencukupi, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama satu tahun,” ujar Revan.

Terdakwa saat akan masuk ruang sidang di PN Trenggalek.
Terdakwa Tak Menyesali Perbuatannya
Sedangkan untuk pertimbangan yang memberatkan terdakwa disampaikan Revan bahwa mulai dampak sosial dan psikologis terhadap korban. Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat, mencoreng citra lembaga pendidikan keagamaan dan menyebabkan penderitaan bagi anak korban.
“Terdakwa juga tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya, sedangkan faktor yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya,” kata Revan.
Untuk proses hukum selanjutnya, Revan menambahkan bahwa terdakwa masih memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum, seperti banding atau kasasi. Sedangkan terkait restitusi yang diajukan korban akan dilaksanakan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Ia juga menerangkan beberapa komponen restitusi yang dikabulkan meliputi biaya transportasi, konsumsi, pemulihan psikologis, perawatan anak dan biaya akikah.
“Sementara untuk biaya kehilangan penghasilan orang tua korban tidak dapat dikabulkan karena kurangnya bukti pendukung,” paparnya.

Proses Persidangan dan Tuntutan JPU
Revan dalam pemberitaan sebelumnya menyampaikan dalam perkara ini, telah dilakukan 10 kali persidangan, mulai dari pemeriksaan hingga agenda duplik.
“Pada sidang sebelumnya, JPU menuntut Supar dengan pidana penjara 14 tahun dan restitusi senilai Rp 247 juta kepada korban,” ungkapnya.
Sedangkan untuk pengajuan restitusi, Revan mengatakan diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), jika restitusi tidak dibayarkan terdakwa, Supar terancam tambahan hukuman selama 6 bulan kurungan.
Dalam sidang sebelumnya pada, Selasa (11/2/2025), terdakwa Supar bersikukuh meminta majelis hakim membebaskan dirinya dari semua dakwaan yang diajukan JPU.
“Tim penasihat hukumnya, menyatakan bahwa dakwaan hanya didasarkan pada tes DNA tanpa didukung keterangan ahli di persidangan,” jelasnya.
Diimbuhkan Revan, tim penasihat hukum terdakwa juga mengatakan jika perbuatan terdakwa tidak terbukti sesuai dakwaan penuntut umum, mereka meminta agar terdakwa dibebaskan dari segala dakwaannya.