SUARA TRENGGALEK – Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Negara (PPN) 12 persen, yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Meskipun pemerintah berdalih bahwa langkah ini diperlukan untuk meningkatkan penerimaan negara, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan menyesuaikan Indonesia dengan standar internasional.
Kebijakan terkait kenaikan PPN ini akan menimbulkan pertanyaan serius bagi kami Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Trenggalek terutama tentang Keadilan Sosial.
Apalagi dengan adanya kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yang cenderung lebih menguntungkan kelompok ekonomi besar.
Maka dari itu, kami Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Trenggalek dengan tegas mempertanyakan apakah kenaikkan PPN ini benar-benar untuk kesejahteraan rakyat, atau justru untuk menunutupi defisit anggaran yang tak kunjung terselesaikan.
Untuk itu, melalui fenomena ini kami bisa menduga bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Negara (PPN) 12 persen yang berlaku efektif pada 1 Januari 2025 nanti merupakan kebijakan yang sesat dari pemerintah Prabrowo-Gibran, dan dalih mengerek pertumbuhan ekonomi serta mengatasi kemiskinan itu bagi kami merupakan alasan yang manipulatif.
Di tengah amburadulnya pemerintah mengelola keuangan negara sekaligus memberlakukan penghapusan tunggakan pajak konglomerat melalui kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yang sudah diberlakukan. Saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bersama pemerintah sedang merancang undang-undang tax amnesty.
Oleh karena itu, menurut kami negara hari ini sudah menyebabkan ketidakadilan yang sistematis, karena Repetisi kebijakan yang dinilai gagal ini di aktivasi menjelang bergulirnya kenaikan Pajak Pertambahan Negara (PPN) 12 persen.
Persoalan ini jelas menimbulkan ketidakadilan sistematis yang akan membuka orang miskin baru sekaligus akan berdampak domino terhadap aktivitas ekonomi masyarakat dan memicu problem sosial.
Menurut kami situasi ini dalam konteks ketatanegaraan, sendi negara yang dibangun dalam konstitusi justru kehilangan kepastiannya dan melumpuhkan prinaip persamaan di hadapan hukum (equality before the low).
Karena menurut kami ini sudah sangat jelas dan terang bahwa kebijakan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Negara (PPN) 12 persen yang telah diatur dalam Pasal 7 undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Himpunan Peraturan Perpajakan (UU HPP) merupakan serangan terhadap konstitusi.
Sedangkan di dalam tinjauan empiris di lapangan kenaikan Pajak Pertambahan Negara (PPN) 12 persen juga akan berdampak terhadap masyarakat karena beli barang di pasar atau di mana pun bakal terkena PPN.
Seperti halnya menaikkan biaya produksi dan biaya konsumsi, melemahkan daya beli, lalu imbasnya pasti penjualan bakal menjadi tidak optimal lantaran permintaan pasti akan melambat, dan bahkan ancaman PHK akan terus meningkat.
Karena menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menyebutkan ada 7,20 juta pengangguran. Sementara pengusaha dalam melakukan PHK akan di muluskan jalannya melalui regulasi Omnibus Cipta Kerja.
Dalam kondisi demikian kaum buruh tidak dapat mendapatkan jaminan kepastian bekerja. Padahal sudah sangat jelas dan sangat terang yang tertera pada Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 bahwa, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Apalagi hari ini para kaum buruh kalau kita lihat bersama masih sangat gencar dalam menuntut haknya terkait kenaikan kesejahteraan melalui upah yang layak, kalau kita luruskan dengan fenomena yang terjadi saat ini, apakah kaum buruh tidak akan terdistraksi dengan beban keuangannya akibat imbas daripada kenaikan Pajak Pertambahan Negara (PPN) 12 persen baik dari segi pengeluaran rumah tangga maupun beban upah.
Belum lagi dalam situasi ini bakal diperparah dengan ancaman badai PHK bagi kalangan buruh akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi. Kondisi factual ini jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi ‘Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’.
Maka dari itu, kenaikan Pajak Pertambahan Negara (PPN) 12 persen yang dilakukan tidak dengan alas an yang rasional dan jelas secara pertimbangan, menurut kami ini jelas merupakan sebuah ketidakpastian hukum dan menimbulkan ketidakjelasan bagi masyarakat dan juga pelaku usaha, terutama sektor mikro, kecil dan menengah.
Sudah jelas bahwa pasal ini menyuguhkan adanya beda perlakuan antara kolongmerat yang mendapat penghapusan tunggakan pajak (tax amnesty) dan masyarakat miskin dan kelompok menengah bakal dikejar-kejar melalui kenaikan Pajak Pertambahan Negara (PPN) 12 persen ini.
Sejalan dengan itu menurut kami, prinsip persamaan di hadapan hukum (aquality before the low) akan tercabik-cabik karena pada prakteknya hukum itu justru lembut terhadap kalangan atas, dan tajam kepada kelompok bawah.
Belum lagi imbas dari kenaikan Pajak Pertambahan Negara (PPN) 12 persen ini jelas akan menggerus ekonomi rumah tangga dengan tambahnya pengeluaran, karena dalam kalkulasi ekonomi sederhana tambahan pengeluaran ini akan merogoh kocek yang cukup besar setiap tahunnya.
Kondisi faktual ini jelas kontras bertentangan dengan apa yang telah di mandatkan oleh negara untuk menyejahterakan rakyatnya sehingga kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Negara (PPN) 12 persen ini sangat bertentangan dengan Pasal 28H ayat 1 yang berbunyi, Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan.
Maka dari itu menurut kami, Kenaikan Pajak Pertambahan Negara (KKN) 12persen dengan berbasis pengelolaan negara di tengah menjamurnya Korupsi dan penyelundupan yang terjadi di mana-mana.
Hal ini menurut kami malah menunjukkan perlawananya terhadap amanat Pasal 34 ayat 4 yang berbunyi, Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan, efisiensi, berkeadilam, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, seta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Oleh karena itu, kami Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiwa Nasional Indonesia (GMNI) Trenggalek yang terus berada di garis Perjuangan Rakyat Menyatakan Sikap:
- Dengan tegas menolak kenaikan Pajak Pertambahan Negara (PPN) 12persen.
- Mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera membatalkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Negara (PPN) 12persen karena sangat membebani masyarakat bawah.
- Mengecam dan mendesak Presiden Prabowo Subianto agar tidak membuat kebijakan yang sangat membebani rakyat.
Karena keluhan masyarakat akan selalu menjadi keresahan kami, suara rakyat akan menjadi pondasi perjuangan kami dan pernyataan sikap diatas tidak hanya berupa karangan, atau tulisan tanpa makna.
Pernyataan sikap dari kami, menandakan adanya ketidak adilan ditengah-tengah masyarakat. Karena mau bagaimanapun keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah hal yang harus selalu diprioritaskan. Maka dari itu tuntutan kami diatas harus dipenuhi dan di tindaklanjuti bagaimana mestinya.