PERISTIWA

Fakta Kiai Cabul Trenggalek, Pernah Diberi Kesempatan Tes DNA Secara Mandiri

×

Fakta Kiai Cabul Trenggalek, Pernah Diberi Kesempatan Tes DNA Secara Mandiri

Sebarkan artikel ini
Kiai Cabul Trenggalek tes DNA
Supar, terdakwa kekerasan seksual saat akan memasuki ruang sidang.

SUARA TRENGGALEK – Imam Syafii alias Supar (52), pimpinan Pondok Pesantren Mambaul Hikam di Desa Sugihan, Kecamatan Kampak, Kabupaten Trenggalek, dijatuhi hukuman 14 tahun penjara atas kasus kekerasan seksual terhadap santrinya.

Dalam sidang Pengadilan Negeri Trenggalek pada Kamis (27/2/2025), terdakwa mengklaim mampu menggandakan diri untuk menghindari tuduhan, namun pembelaan tersebut ditolak oleh majelis hakim.

Ketua Majelis Hakim, Dian Nur Pratiwi, menyatakan bahwa klaim Supar terkait perewang atau jin yang menyerupai dirinya tidak masuk akal.

Bukti kuat dan kesaksian saksi mengungkap bahwa terdakwa melakukan tindakan asusila terhadap korban sebanyak lima kali antara 2022 hingga 2024.

Dalam proses persidangan terdakwa menolak hasil tes DNA yang dilakukan oleh pihak berwenang. Padahal dalam perkara ini terdakwa juga sudah diberi kesempatan untuk melakukan tes DNA secara mandiri, namun tidak dilakukan.

Kronologi Kiai Cabul Trenggalek

Kasus ini mencuat pada April 2024, ketika tetangga korban menyadari perubahan fisik korban yang tampak lebih gemuk. Atas saran warga, korban menjalani pemeriksaan ke bidan, yang mengonfirmasi kehamilan enam hingga tujuh bulan.

Dalam ketakutan, korban akhirnya mengungkap bahwa Supar, yang dihormati sebagai pengasuh pesantren, adalah pelaku. Keluarga korban segera melaporkan kejadian ini kepada tokoh masyarakat, termasuk Ketua Ansor Kampak, untuk meminta pertanggungjawaban.

Namun, Supar menolak tuduhan tersebut dan bersikeras bahwa dirinya tidak bersalah. Saat persidangan, ia bahkan mengaku bahwa yang melakukan perbuatan tersebut adalah jin yang menyerupai dirinya.

Putusan Hakim dan Sanksi

Majelis hakim menolak pembelaan ini dan menyatakan Supar bersalah. Tindakan kekerasan seksual terbukti terjadi di beberapa lokasi pondok pesantren, termasuk ruang kelas dan kamar khusus di dekat mihrab masjid.

Hakim menegaskan bahwa relasi kuasa antara pelaku dan korban membuat korban tidak berani melawan.

Sebagai konsekuensi hukum, Supar divonis 14 tahun penjara, didenda Rp 200 juta, dan diwajibkan membayar restitusi Rp 106 juta kepada korban. Jika tidak dibayarkan, jaksa berhak menyita aset terdakwa untuk dilelang guna memenuhi ganti rugi tersebut.