SUARA TRENGGALEK – Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Trenggalek akhirnya angkat bicara terkait pemindahan Arca Durga Mahisasuramardini ke Bogor untuk kepentingan restorasi.
Meski bertujuan pelestarian, langkah tersebut ternyata tidak dilengkapi dengan prosedur administrasi yang sesuai dengan aturan hukum. Sehingga terdapat beberapa pelanggaran hukum.
Kepala Bidang Kebudayaan Disparbud Trenggalek, Agus Prasmono, menegaskan bahwa setiap bentuk pemindahan cagar budaya, termasuk arca, harus memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
“Prosedur pemindahan itu, apalagi antarprovinsi, harus mendapatkan izin dari pemerintah provinsi. Dan harus ada rekomendasi resmi,” kata Agus saat dikonfirmasi.
Terancam Sanksi Hukum Jika Tanpa Izin
Menurutnya, mengacu pada UU No. 11 Tahun 2010, setiap orang yang memindahkan cagar budaya tanpa izin dari Menteri, Gubernur, atau Bupati/Wali Kota dapat dikenakan sanksi hukum.
Ancaman pidananya mencakup hukuman penjara paling singkat tiga bulan dan paling lama dua tahun, serta denda paling sedikit Rp100 juta hingga paling banyak Rp1 miliar.
Dalam kasus pemindahan Arca Durga Mahisasuramardini, Sunyoto menegaskan bahwa tidak ada surat rekomendasi yang menyertai proses tersebut.
“Karena kemarin belum ada rekomendasi, makanya arca harus kembali lagi ke Trenggalek,” imbuh Agus.
Peningkatan Sosialisasi di Trenggalek
Agus mengungkapkan bahwa pemindahan arca tanpa izin ini terjadi kemungkinan besar karena ketidaktahuan pihak terkait terhadap prosedur hukum.
Oleh karena itu, pihaknya akan melakukan upaya sosialisasi, khususnya kepada desa-desa yang memiliki potensi tinggalan arkeologis.
“Insya Allah, meskipun sosialisasinya tidak formal, tetap akan kami lakukan agar tidak terulang kembali,” jelasnya.
Proses Registrasi dan Kajian Restorasi
Agus juga menambahkan bahwa Arca Durga Mahisasuramardini saat ini masih dalam proses registrasi sebagai cagar budaya karena validasinya belum rampung. Selain itu, rencana restorasi pun belum bisa dilanjutkan sebelum ada kajian dari para ahli arkeologi.
“Kalau restorasi harus melalui kajian dari ahli di bidang tersebut. Jadi belum bisa dipastikan apalagi belum ada rekomendasi,” tandasnya.