PENDIDIKAN

Kisah Menak Sopal Pahlawan Pertanian Wafat 1568 Serta Penyebaran Agama Islam di Trenggalek

×

Kisah Menak Sopal Pahlawan Pertanian Wafat 1568 Serta Penyebaran Agama Islam di Trenggalek

Sebarkan artikel ini
Makam Ki Ageng Menak Sopal di Kelurahan Ngantru, Trenggalek.

SUARA TRENGGALEK – Nama Ki Ageng Menak Sopal memang sudah tak asing bagi warga Trenggalek, Jawa Timur. Selain seorang pemuka agama, beliau juga dianggap pahlawan bagi para petani.

Cerita Menak Sopal banyak versinya, untuk itu tim penggali data berusaha menggabungkan cerita itu. Sehingga mudah untuk dipergunakan sebagai sumber dalam penelitian sejarah Trenggalek.

Menurut keterangan Ichwan Supardi BA almarhum (anggota team), cerita Menak Sopal ini mempunyai dua versi, yakni versi barat dan versi timur.

Dan sumber cerita ini diambil dari Sarni Wiryodiharjo mantan Kepala Penerangan Kecamatan Kampak Kabupaten Trenggalek Jawa Timur dan sumber lain berasal dari Soepingi almarhum mantan Kepala Desa Ngantru Kecamatan/Kabupaten Trenggalek.

Berawal, penyebaran agama islam secara intensif sejak zaman para wali yang didukung oleh kerajaan Kesultanan Demak. Penyebaran agama islam di Trenggalek dilakukan secara halus dan hati-hati.

Sampai saat ini, belum ditemukan dokumen tertulis yang menyebutkan tentang penyebaran agama islam di Trenggalek. Hanya ditemukan cerita rakyat yang sangat terkenal serta diceritakan secara lisan dan turun temurun utamanya tentang tokoh Menak Sopal.

Sedangkan untuk menyusun sejarah lokal, maka cerita rakyat atau dongeng (folk-lore) tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Memang harus dipisahkan antara sejarah dan cerita rakyat atau dongeng banyak versi tentang cerita Menak Sopal.

Tetapi pada dasarnya, isinya tetap sama. Biasanya cerita semacam ini dihubungkan dengan nama-nama serta tempat dimana cerita itu berkembang.

Menurut Sahibul Hikayat, ada seorang yang berasal dari Mataram yang bertugas mengatur daerah di timur Ponorogo yang sekarang disebut daerah Trenggalek atau bisa disingkat Ki Ageng Galek. Sering kalau kita bicara tentang Mataram, selalu dihubungkan dengan Kerajaan Mataram Islam.

Sedangkan yang dimaksud dengan Mataram dalam cerita Menak Sopal ini tidak demikian, sebab Mataram yang dimaksud di sini adalah Mataram wilayah milik Majapahit.

Hal ini dibuktikan dari kitab negara Kertagama Pupuh VI bait 3 yang menyebutkan antara lain ‘Haji Raja Ratu Ing Mataram Iwir Yang Kumara Nurun,’ Artinya raja di Mataram, laksana Dewa Kumara datang dibumi.

Penulis pada pernyataan yang terdahulu menyebutkan, bahwa Mataram dicerita ini adalah Mataram pada zaman Majapahit. Sebab dalam cerita itu dinyatakan bahwa Ki Ageng Nggalek ditugasi memelihara seorang putri dari Majapahit yang bernama Amiswati atau Amisayu.

Pada saat itu, kaki putri yang berpenyakit luka-luka dan berbau amis atau busuk. Ki Ageng Galek merasa bingung dalam melaksanakan tugas ini. Sebab semua obat telah dipergunakan, namun penyakitnya tidak kunjung sembuh.

Karena bingungnya kemudian Dewi Amisayu diminta mandi di Sungai Bagongan yang sekarang terletak di Kelurahan Ngantru Trenggalek. Karena merasa malu dan sedih, maka putri Amisayu mengucap sayembara.

Bahwa siapa saja yang dapat menyembuhkan luka-lukanya, bila wanita akan di anggap saudara dan bila pria akan dijadikan suaminya. Berita itu rupaya terdengar oleh raja dari seluruh buaya yang berkulit putih bernama Menak Sraba dan bertahta di Lubuk atau Kedung Bagongan.

Kata buaya mengandung lambang bahaya. Sedangkan putih adalah lambang kesucian atau kesucian dari agama. Sedangka kata Menak biasa dipakai oleh golongan priyayi atau pejabat pada zaman Islam utamanya dari suku Sunda yaitu golongan bangsawan. Atau ingat cerita Menak Jayeng Rana, Menak Jengga, Menak Koncar, mereka ini lahir sesudah Mataram menjadi kerajaan Islam.

Jadi Menak Sraba adalah pimpinan umat Islam disekitar Trenggalek. Sedangkan Kedung atau Lubuk artinya dalam. Jadi Menak Sraba yang berasal dari Kedung berarti pimpinan umat Islam yang berasal dari pedalaman.

Menak Sraba yang berwujud buaya putih berubah menjadi manusia dan berwajah tampan juga rendah diri. Hal ini tampak didalam cerita itu, ketika Menak Sraba mengobati luka-luka Dewi Amisayu dengan cara menjilati luka dikaki Sang Dewi.

Menak Sraba akhirnya berhasil menyembuhkan Dewi Amisayu. Berkat tindakan itu, Ki Ageng Galek mau menerima Menak Sraba sebagai anggota keluarganya dan mengawinkannya dengan Dewi Amisayu.

Warga saat mengolah sawah yang mendapat irigasi air dari dam bagong yang dibangun era menak sopal.

Ageng Menak Sopal Pahlawan Pertanian Trenggalek

Setelah Menak Sraba kembali ke tempatnya semula yaitu, Kedung Bagongan dan meninggalkan Dewi Amis Ayu.

Beberapa tahun kemudian, setelah sepeninggalan Menak Sraba, Dewi Amis Ayu melahirkan anak laki-laki. Sesuai pesan dari Menak Sraba suaminya, maka bayi tersebut diberi nama Menak Sopal.

Seiring waktu Menak Sopal tumbuh dewasa, lalu mohon keterangan dari ibunya siap ayahnya yang sebenarnya. Terpaksa Dewi Amis Ayu bersawantah (berterus terang) bahwa ayahnya adalah, buaya putih penjaga Kedung Bagongan.

Ketika mendengar cerita ibunya, Menak Sopal segera dan mohon diri atau izin kepada ibunya (Dewi Amis Ayu) pergi untuk mencari ayahnya.

Pada akhirnya Menak Sopal berhasil bertemu dengan ayahnya di Demak Bintara. Disitulah kemudian Menak Sopal di didik dan di beri pelajaran agama Islam. Sepulang dari Kedung Bagongan menuju Trenggalek mulailah perjaka ini berfikir bagaimana cara agar rakyat Trenggalek memeluk agama Islam.

Pada waktu itu, rakyat Trenggalek sebagian besar bekerja sebagai petani, namun daerahnya sangat kekurangan air. Kemudian Menak Sopal berfikir dan dirasa perlu mendirikan tanggul air agar pengairan bisa memberi kemakmuran bagi rakyat Trenggalek.

Menak Sopal bersikeras untuk membuat tanggul, tetapi selalu gagal dan akhirnya meminta petunjuk ayahnya Menak Sraba. Kemudian oleh ayahnya diberi tahu, bahwa bendungan bisa terwujud bila di tumbali kepal gajah putih.

Setelah diberi tahu ayahnya, Menak Sopal langsung mengirim utusannya ke suatu tempat yakni di Randa Krandon atau janda yang bertempat di Desa Krandon. Janda itulah satu-satunya yang mempunyai gajah putih.

Kemudian janda kerandon tidak keberatan untuk meminjamkan gajah putihnya, asalkan setelah selesai tugasnya dalam membantu pembuatan bendungan segera dikembalikan ke Krandon. Akhirnya gajah putih dibawa ke Trenggalek dan selanjutnya di sembelih didekat sungai Bagongan.

Daging dari gajah putih tersebut kemudian dibagi bagikan kepada rakyat yang bekerja untuk membuat bendungan Bagong, sedangkan kepalanya dijadikan tumbal disitu. Setelah ditumbali kepala gajah putih bedungan itu dapat terwujud.

Bendungan sudah jadi dan airnya mulai mengaliri sawah-sawah serta dapat diatur untuk keperluan sehari hari bagi rakyat Trenggalek. Berkat itulah sawah sawah dapat ditanami padi hingga setahun panen dua atau tiga kali. sedangkan dulu hanya merupakan sawah tadah hujan.

Dari semua yang dilakukan oleh Menak Sopal ini sebagai satu alat untuk dijadikan rangsangan agar rakyat Trenggalek mau beragama Islam. Dan akhirnya rakyat Trenggalek mau memeluk agama islam.

Perlu diketahui, yang dimaksud gajah putih, gajah adalah lambang kebesaran dan putih lambang kesucian suatu agama. Badan gajah yang dagingnya dibagi bagikan kepada rakyat dan kepalanya dijadikan tumbal. Jadi tidak memustahil bila rakyat Trenggalek mengagap Menak Sopal adalah bapak pertanian (pahlawan pertanian).

Janda Krandon sudah lama sekali menunggu dan menanti kedatangan gajah putih yang dipinjam Menak Sopal, namun tidak kunjung dikembalikan. Oleh karena itu, janda Krandon terpaksa menyiapkan tertaranya untuk meminta kembali gajah putih dari menak sopal.

Untuk mengindari agar tidak terjadi pertumpahan darah di Trenggalek, Minak Sopal minta pertolongan ayahnya. Kemudian bersama-sama membuat lorong didalam tanah yang biasa disebut gangsiran. Lorong tersebut dibuat mulai dari daerah Trenggalek hingga ke Rawa Ngebel atau Ponorogo kecamatan Ngebel.

Gangsiran atau lorong didalam tanah, mengandug perlambang bahwa penyebaran agama Islam yang dilakukan dengan cara diam diam.

Kala itu, Janda Krandon yang menyiapkan tentaranya berjaga jaga dipuncak gunung sekitar Trenggalek sambil memantau gerak gerik tentara Minak Sopal. Karena terlalu lama didaerah itu, hingga sampai tangkai tombak perajurit perajuritnya dimakan bubuk. Kemudian daerah itu diberi nama gunung Bubuk.

Selanjutnya, janda Krandon terpaksa membatalkan kehendaknya untuk menyerang daerah Trenggalek. Perlu diketahui yang dimaksud tangkai tombak telah di makan bubuk adalah rakyat Krandon yang disini sudah dipengaruhi olek Menak Sraba dan Menak Sopal yang telah menyebarkan agama Islam secara diam diam (gangsiran).

Dan akhirnya rakyat digunung bubuk semua memeluk agama Islam. Karena didaerah bubuk dipimpin oleh seorang janda artinya wanita yang sudah ditingal suaminya karena itu pula, Majapahit telah runtuh dan Kasultanan Demark Bintara telah berdiri.

Kesimpulannya, Menak Sopal adalah tokoh penyebar agama Islam di Trenggalek yang mampu memakmurkan rakyat dengan cara membangun bendungan Bagong. Pahlawan Pertanian oleh karena itu ceritannya masih hidup dihati masyarakat Trenggalek dan makamnya masih dikeramatkan.

Berdasarkan ukiran nisan makam Menak Sopal yang berwujud bunga berkelopak empat helai dan rembulan, dapatlah dijadikan bukti adanya candra sangkala memet yang berbunyi sirnaning puspita cinatur wulan yang artinya tahun saka 1490 atau tahun masehi 1568 yaitu menunjukan waktu wafatnya Ki Ageng Menak Sopal.

Demikianlah sekelumit sejarah kisah legenda penyebaran agama Islam di Trenggalek dan Pahlawan Pertanian yang sekarang menjadi Kabupaten Trenggalek.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *