SUARA TRENGGALEK – Terdakwa Imam Syafii alias Supar (52) pemilik pondok pesantren Mambaul Hikam di Kecamatan Kampak, Trenggalek telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah, status terdakwa sekarang beralih menjadi terpidana.
Terdakwa dalam perkara ini telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan hingga melahirkan seorang bayi.
Hal itu disampaikan Juru Bicara Pengadilan Negeri Trenggalek, Revan Timbul Hamonangan. Pihaknya menyebutkan status perkara tersebut telah berkekuatan hukum tetap sejak hari Kamis, tanggal 6 Maret 2025.
“Setelah saya cek terdakwa tidak mengajukan upaya hukum banding untuk perkara pidana nomor 107/Pid.Sus/2024/PN Trk. Sehingga status Imam Syafii berubah menjadi terpidana,” kata Revan, Jumat (7/3/2025).
Revan juga menerangkan karena sudah berkekuatan hukum tetap, pelaksanaan eksekusi akan segera dilaksanakan oleh jaksa penuntut umum (JPU).
“Sekarang yang bersangkutan masih di dalam rumah tahanan, posisinya masih dalam tahanan majelis hakim yang kemarin, kalau sudah dieksekusi oleh penuntut umum berarti menjalankan putusan pidana,” lanjutnya.
Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, Imam Syafii alias Supar (52) divonis pidana penjara 14 tahun, dalam sidang pembacaan putusan atau vonis di Pengadilan Negeri Trenggalek pada, Kamis (27/2/2025).
Ketua Majelis Hakim, Dian Nur Pratiwi menyebutkan terdakwa Imam Syafii alias Supar terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya.
“Menjatuhkan pidana penjara selama 14 tahun dan denda sejumlah Rp 200 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti kurungan 6 bulan,” kata Dian.
Majelis juga memutuskan agar Supar membayar restitusi kepada anak korban sejumlah Rp 106.541.500 dengan ketentuan apabila dalam waktu 30 hari setelah inkrah tidak dibayar maka harta benda terdakwa disita dan dilelang oleh jaksa untuk membayar restitusi.
“Apabila tidak mencukupi diganti pidana kurungan selama satu tahun,” lanjutnya.
Putusan dari Pengadilan Negeri Trenggalek tersebut sama dengan tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Terdapat perbedaan dalam putusan restitusi.
Untuk restitusi, majelis PN Trenggalek memutuskan lebih rendah dibandingkan yang diajukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melalui JPU yaitu senilai Rp 247 juta subsider 6 bulan kurungan penjara.