SUARA TRENGGALEK – Kementerian Agama (Kemenag) Trenggalek bakal melayangkan surat pencabutan izin operasional (ijop) pondok pesantren di Kecamatan Karangan.
Keputusan tersebut setelah Majelis Hakim membacakan putusan terhadap Masduki (72) dan Muhammad Faisol Subhan Hadi (37) atas kasus pidana pencabulan terhadap santriwatinya, kemarin Senin (30/9/2024).
Dalam putusan, terdakwa kiai dan anaknya itu dinyatakan bersalah dan bakal menerima hukuman 9 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan penjara.
Kepala Kemenag Kabupaten Trenggalek, M Nur Ibadi saat di konfirmasi awak media di ruangannya mengatakan dalam menindaklanjuti hal tersebut Kementerian Agama (Kemenag) Trenggalek bertindak cepat.
Langkah yang akan diambil adalah dengan menyurati Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Pendis) Kementerian Agama RI untuk mempertimbangkan mencabut izin operasional (ijop) pondok pesantren yang dikelola oleh Masduki (72) dan Muhammad Faisol Subhan Hadi (37) tersebut.
“Kita akan mengajukan kepada Kementerian Agama Republik Indonesia yaitu Ditjen Pendis untuk meninjau ulang atau mempertimbangkan mencabut izin yang dimaksud,” kata Ibadi, Selasa (1/10/2024).
Ia juga menjelaskan dalam Ijop pendirian pondok pesantren dicantumkan nama kiai yang mana sudah divonis 9 tahun penjara, hal tersebut mempengaruhi 5 syarat arkanul mahad (rukun pesantren) yang harus terpenuhi dalam pendirian pondok pesantren.
Selanjutnya, ia akan melakkukan koordinasi dengan Ditjen Pendis agar peninjauan atau pencabutan Ijop tersebut segera bisa dilakukan. Keputusan itu bakal ber landaskan pada UU 18 tahun 2019 tentang pondok pesantren.
“Kami koordinasikan dulu dengan Pak Dirjen Pendis agar segera diperhatikan dan mendapatkan atensi khusus, karena memang masalahnya khusus yang perlu mendapatkan perhatian secara intensif,” tegasnya.
Untuk nasib dari santri sendiri menurut Ibadi akan diberikan pendampingan dengan memberikan afirmasi dan fasilitasi, salah satunya jika ingin pindah ke pondok pesantren lainnya.
“Kita fasilitas yang orang tua inginkan, yang penting hak-hak santri bisa terpenuhi, terutama hak untuk memperoleh pendidikan jangan sampai terganggu,” terang Ibadi.
Namun demikian dari informasi yang ia terima, pondok pesantren tersebut sudah tidak mempunyai santri lagi, walaupun untuk siswa di sekolah formal yaitu SMP dan MA masih ada.
“Tapi untuk sekolah, memang beda dengan pondok pesantren walaupun di dalam payung yayasan yang sama,” pungkasnya