SUARA TRENGGALEK – Buah sukun (Artocarpus altilis), yang dikenal di dunia Barat sebagai breadfruit, merupakan salah satu kekayaan pangan tropis Nusantara yang kini keberadaannya terancam.
Minimnya pemanfaatan dan perhatian membuat populasi sukun semakin berkurang, padahal buah ini memiliki sejarah panjang, kandungan gizi tinggi, serta potensi besar bagi ketahanan pangan.
Sukun telah dimanfaatkan sejak 3.000 tahun lalu di kawasan Oceania, termasuk Indonesia bagian timur. Relief Candi Borobudur abad ke-8 bahkan menggambarkan pohon sukun.
Sejarah Buah Sukun
Pada abad ke-16, penjelajah Inggris William Dampier mencatat keberadaan sukun di Guam dan menjulukinya breadfruit karena teksturnya menyerupai roti.
Selanjutnya, penjelajah James Cook hingga Kapten William Bligh memperkenalkan sukun ke berbagai koloni untuk mendukung ketahanan pangan.
Di Indonesia, sukun juga memiliki nilai historis. Presiden Soekarno diketahui pernah merenungkan dasar Pancasila di bawah pohon sukun di Ende, Flores.
Namun, popularitasnya saat ini hanya sebatas camilan tradisional seperti gorengan atau keripik.
Saat ini keberadaan sukun terancam akibat urbanisasi, alih fungsi lahan, serta minimnya budidaya intensif. Banyak petani lebih memilih menanam komoditas komersial seperti sawit atau padi. Beberapa varietas lokal bahkan dilaporkan mulai punah.
Padahal, menurut penelitian Chicago Botanic Garden, sukun memiliki daya adaptasi tinggi terhadap perubahan iklim dan mampu bertahan hingga 2060–2080. Buah ini juga menyimpan manfaat gizi melimpah.
Kandungan Buah Sukun
Setiap 100 gram sukun mengandung sekitar 27–28 gram karbohidrat kompleks, 4–5 gram serat, rendah lemak, bebas gluten, serta kaya vitamin C, vitamin B kompleks, kalium, magnesium, fosfor, dan zat besi.
Selain buah, daun sukun juga bermanfaat untuk kesehatan jantung, ginjal, dan hati berkat kandungan flavonoid serta sitosterol. Sukun juga berpotensi besar diolah menjadi produk bernilai ekonomi tinggi, seperti tepung, tape, maupun keripik, yang bisa menembus pasar internasional.
Untuk mencegah kepunahan, para ahli mendorong upaya pelestarian sukun melalui promosi manfaat, inovasi olahan pangan, konservasi varietas lokal, serta dukungan pemerintah agar sukun masuk dalam program ketahanan pangan nasional.
Buah sukun yang pernah dijuluki “buah ajaib” ini dinilai layak dijadikan pangan alternatif menghadapi krisis iklim dan krisis pangan global. Tanpa pelestarian, warisan Nusantara tersebut berisiko hilang dari kebun maupun meja makan masyarakat.