SUARA TRENGGALEK – Fenomena “sound horeg” yang kerap digunakan dalam acara karnaval di berbagai daerah termasuk Trenggalek, dinilai menimbulkan keresahan masyarakat akibat tingkat kebisingan yang ekstrem.
Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinkesdalduk KB) Kabupaten Trenggalek mengingatkan potensi gangguan kesehatan akibat paparan suara dengan intensitas tinggi tersebut.
Sound horeg merujuk pada penggunaan sistem audio bersuara keras, yang sering kali dibawa menggunakan kendaraan dalam berbagai kegiatan PHBN karnaval di tingkat desa hingga kota.
Suara sound horeg yang pecah dan kasar diklaim menarik perhatian masyarakat, namun berdampak serius bagi kesehatan dan lingkungan sekitar.
“Kadang kebisingan tidak bisa kita hindari. Tapi ketika melampaui batas waktu dan ambang yang ditentukan, maka harus diwaspadai karena dapat merugikan kesehatan,” ujar Kepala Dinkesdalduk KB Trenggalek, dr. Sunarto, Jumat (11/7/2025).
Sunarto mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.13/Men/X/2011 yang menetapkan bahwa tingkat kebisingan 85 desibel (dB) hanya boleh dipaparkan maksimal selama 8 jam.
Untuk tingkat 94 dB hanya 1 jam, dan 115 dB maksimal 58 detik. Jika paparan melebihi 130 dB, risiko gangguan pendengaran bahkan kematian bisa terjadi dalam waktu kurang dari 1 detik.
Menurutnya, suara sound horeg umumnya berada pada kisaran 135 hingga 139 dB, lebih tinggi dari suara sirene ambulans atau pesawat lepas landas. Kebisingan tersebut bisa berdampak pada sistem saraf, tekanan darah, pendengaran, bahkan psikologis warga.
“Bising bernada tinggi dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, sakit kepala, mual, hingga gangguan tidur. Dalam jangka panjang, ini bisa memicu stres hingga penyakit psikosomatik,” tegasnya.
Sunarto juga menjelaskan, suara yang terlalu keras juga mengganggu komunikasi dan keseimbangan tubuh. “Komunikasi menjadi terganggu, bahkan bisa membahayakan karena tidak terdengarnya isyarat atau tanda bahaya,” imbuhnya.
Untuk menekan dampak kebisingan, pihaknya menyarankan sejumlah langkah mitigasi, seperti memilih lokasi hunian jauh dari sumber bising, menggunakan isolasi suara dan memakai alat pelindung telinga saat berada di lingkungan bising yang keras.
Selain itu, masyarakat diimbau mengurangi penggunaan alat elektronik dengan volume tinggi, tidak sering membunyikan klakson di jalan raya, serta turut mengedukasi lingkungan sekitar soal bahaya kebisingan ekstrem.
“Kadang kita tidak dapat memilih, tapi bisa menyiasati agar tetap sehat dan tidak terdampak secara signifikan,” pungkas Sunarto.