SUARA TRENGGALEK – Perhutani KPH Kediri Selatan memperkuat langkah mitigasi bencana di wilayah Kabupaten Trenggalek sebagai upaya antisipasi potensi longsor dan tanah gerak.
Langkah ini dilakukan mengingat Trenggalek termasuk daerah dengan peta kerawanan tanah gerak terluas di Jawa Timur.
Wakil Kepala KPH Perhutani Kediri Selatan, Hermawan, mengatakan mitigasi bencana dilakukan secara sistematis melalui koordinasi intensif dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Trenggalek.
BPBD berperan sebagai komando utama, sementara Perhutani bertugas melakukan mitigasi di kawasan hutan dan titik rawan.
“Kami bekerja sama erat dengan BPBD Kabupaten Trenggalek. BPBD memimpin komando, dan kami langsung bergerak melakukan mitigasi, terutama di titik rawan longsor dan potensi pohon tumbang,” kata Hermawan, Minggu (14/12/2025).
Menurutnya, upaya mitigasi tidak hanya dilakukan melalui patroli rutin, tetapi juga pemasangan banner imbauan, peringatan dini kepada masyarakat, serta sosialisasi tanggap bencana di wilayah rawan seperti Kecamatan Pule dan Kampak.
“Setiap bertemu warga di lapangan, kami selalu menyampaikan edukasi mitigasi. Jika ada laporan tanah retak, kami langsung tindak lanjuti dan berkoordinasi dengan BPBD,” ujarnya.
Hermawan menyebut komunikasi harian antara Perhutani dan BPBD terus dilakukan untuk memantau kondisi titik-titik yang mulai labil, sehingga respons dapat dilakukan secara cepat.
Salah satu contoh penanganan mitigasi terjadi di Desa Ngrandu, Kecamatan Suruh, saat ditemukan kasus tanah retak.
“Alhamdulillah, 37 kepala keluarga yang berada di lokasi rawan bisa diselamatkan. Ini bukti bahwa komunikasi dan antisipasi sangat penting,” tegasnya.
Ia menambahkan, banyak zona merah tanah gerak tersebar di Trenggalek sehingga mitigasi harus dilakukan secara proaktif dan berlapis, bukan menunggu terjadinya bencana.
Hermawan juga mengimbau masyarakat untuk mematuhi sistem peringatan dini yang disiapkan BPBD.
“Jika alarm peringatan berbunyi, warga harus segera mengungsi ke tempat aman dan berkumpul di titik yang telah ditentukan,” tuturnya.
Menurut Hermawan, budaya tanggap bencana harus dibangun sebagai kebiasaan masyarakat, tidak hanya saat musim hujan.
Perhutani, lanjutnya, berkomitmen tidak hanya menjaga kawasan hutan, tetapi juga melindungi keselamatan warga yang tinggal di wilayah rawan bencana.
“Kami mengutamakan antisipasi mitigasi agar potensi bencana tidak sampai menimbulkan korban jiwa,” pungkasnya.











