SUARA TRENGGALEK – Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kediri Selatan menegaskan saat ini tidak ada aktivitas blandong kayu atau pembalakan liar di wilayah Kabupaten Trenggalek.
Kondisi tersebut dipengaruhi karakteristik hutan setempat yang didominasi tanaman pinus, sehingga dinilai kurang menarik secara ekonomi bagi pelaku pencurian kayu.
Wakil Kepala KPH Perhutani Kediri Selatan, Hermawan mengatakan jenis tegakan hutan di Trenggalek berbeda dengan wilayah lain yang kerap menjadi sasaran blandong kayu bernilai tinggi.
“Kalau di sini jenis tegakan kami pohon pinus, jadi bukan untuk kayu rimbang seperti jati atau sonokeling yang bernilai tinggi. Untuk bahan bangunan, masyarakat di sini lebih banyak menggunakan kayu sengon,” kata Hermawan.
Menurutnya, intensitas perusakan hutan di Trenggalek relatif rendah dibandingkan daerah lain di Jawa Timur yang memiliki tegakan jati atau sonokeling.
“Kalau di sini perusakan hutan justru cenderung kecil intensitasnya. Berbeda dengan daerah seperti Saradan atau Nganjuk, di sana jenis tanamannya memungkinkan untuk itu,” jelasnya.
Hermawan menambahkan, dari sisi nilai ekonomi, pencurian kayu pinus tidak sebanding dengan risiko yang harus ditanggung pelaku.
“Misalnya mencuri 10 pohon pinus itu tidak sebanding dengan satu pohon jati. Nilai pinus relatif kecil, sementara untuk kayu bangunan masyarakat justru memilih kayu dari lahan sendiri seperti akasia atau sengon yang lebih kuat,” ujarnya.
Meski demikian, Perhutani mencatat pernah terjadi pencurian kayu bernilai tinggi beberapa tahun lalu. Namun kejadian tersebut bersifat sporadis dan tidak berulang.
“Pernah ada sekitar tahun 2021 atau 2022, sonokeling di wilayah Gunung Sawe, Kedungsigit,” ungkapnya.
Selain faktor jenis tanaman, Hermawan menilai kesadaran masyarakat Trenggalek terhadap kelestarian lingkungan cukup tinggi. Hal ini turut mendukung upaya Perhutani dalam menjaga kawasan hutan agar tetap lestari.
“Di sini masyarakat juga sadar lingkungan,” pungkasnya.











