SUARA TRENGGALEK – Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky memprediksi harga iPhone akan mengalami kenaikan secara global, termasuk di Indonesia, sebagai dampak dari kebijakan tarif yang diterapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Menurut Riefky, iPhone tidak diproduksi di Amerika Serikat, melainkan dirakit di sejumlah negara seperti China dan India oleh perusahaan-perusahaan rantai pasok seperti Hon Hai (Foxconn), sebelum akhirnya dikirim kembali ke AS.
“Jadi nanti harga iPhone di seluruh dunia yang dijual oleh AS juga berpotensi akan meningkat harganya,” ujar Riefky saat dihubungi Bloomberg Technoz, Selasa (22/7/2025).
Ia memperkirakan kenaikan harga ini akan berdampak pada penurunan penjualan iPhone, meskipun tidak signifikan terhadap daya beli masyarakat Indonesia karena produk tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
“Kalau harganya semakin tinggi, dugaan saya masyarakat atau konsumen akan beralih ke alternatif produk yang lebih murah. Tapi apakah ini akan memperparah daya beli? Nggak juga,” jelasnya.
Riefky menambahkan, industri manufaktur berbasis teknologi di Indonesia masih memiliki daya tawar yang lemah dibanding negara lain seperti Vietnam dan Taiwan, bahkan masih tertinggal dari Singapura dan Malaysia dalam beberapa komponen.
“Memang masih low value added dan low technology. Jadi memang posisi tawar kita tidak terlalu bagus di produk-produk manufaktur berbasis teknologi,” terangnya.
Sebaliknya, Riefky menyebut Indonesia justru memiliki kekuatan pada komoditas seperti kopi, minyak kelapa sawit mentah, batu bara, dan nikel. “Itu kita memiliki daya tawar tinggi, tapi selebihnya memang daya tawar kita masih relatif lemah,” ujarnya.
Ia menilai pemerintah perlu mendorong daya saing dan menarik investasi berbasis teknologi ke Indonesia guna memperkuat sektor industri domestik.
“Kita tahu banyak investasi yang nggak jadi masuk ke Indonesia, Apple, Microsoft, Tesla. Selama setahun belakang tuh banyak yang nggak jadi investasi ke Indonesia, malah ke negara lain,” kata Riefky.
Menurutnya, iklim investasi dalam negeri saat ini masih belum kompetitif akibat berbagai persoalan seperti praktik rente, premanisme, birokrasi rumit, serta regulasi yang kompleks dan tumpang tindih.
“Ini membuat iklim investasi di Indonesia jadi nggak menarik,” tegasnya.
Riefky membandingkan dengan Malaysia dan Vietnam yang dinilai lebih memberikan kepastian kepada investor. Ia mendorong pemerintah Indonesia melakukan reformasi mendasar guna meningkatkan daya saing investasi.
“Ini memang kebijakan yang cukup struktural dan enggak bisa diraih dalam waktu singkat. Jadi memang ini perlu reformasi yang cukup mendasar di iklim investasi kita,” pungkasnya.