SUARA TRENGGALEK – Ketua Komisi I DPRD Trenggalek, Husni Tahir Hamid menyoroti maraknya fenomena Aparatur Sipil Negara (ASN) yang melakukan pernikahan siri, termasuk di kalangan pensiunan.
Ia menilai persoalan tersebut perlu segera ditangani dengan payung hukum yang jelas agar tidak menimbulkan masalah sosial maupun administrasi, terutama identitas anak hasil pernikahan.
“Banyak isu sekarang terutama PNS melakukan nikah siri, termasuk yang mendapat pensiunan. Ini harus diselesaikan dengan regulasi,” ujar Husni kepada awak media, Selasa (21/10/2025).
Menurutnya, persoalan nikah siri PNS ini tidak hanya berkaitan dengan aspek moral dan sosial, tetapi juga berdampak pada hak-hak administratif seperti hak pensiun.
Dalam beberapa kasus, kata Husni, pernikahan tanpa pencatatan resmi membuat status istri baru tidak diakui secara hukum, sementara hak pensiun tetap diterima oleh pihak yang tidak semestinya.
“Misal kalau dia kawin lagi secara sah, pensiun suaminya yang menginggal tidak kembali ke dia. Ini banyak terjadi. Artinya perlu ada pengaturan agar tidak ada yang dirugikan,” jelasnya.
Husni menyebut DPRD akan mempertimbangkan untuk membuat regulasi daerah yang bisa menertibkan fenomena nikah siri di kalangan PNS tersebut.
Namun, langkah itu masih perlu dikaji lebih dalam dengan memperhatikan aspek sosial dan hukum yang berlaku.
Fenomena ini tentang nikah siri antara seorang laki-laki atau perempuan yang mendapat pensiunan dari suami atau istrinya yang telah meninggal dengan status PNS.
“Saat ini kami akan melihat dulu bagaimana aturan pusat mengaturnya. Kalau memang ada celah, kita bisa dorong lewat regulasi di daerah,” katanya.
Terkait status hukum pernikahan siri, Husni menegaskan bahwa secara agama sah, namun secara hukum negara tidak memiliki kekuatan pembuktian karena tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
“Undang-undang perkawinan menyatakan sahnya suatu hubungan itu dibuktikan dengan akta dari KUA. Jadi pernikahan siri itu hanya sah menurut agama, tapi tidak punya dasar hukum negara,” tegasnya.
Ia juga menyoroti dampak sosial yang muncul, terutama bagi anak yang lahir dari pernikahan siri tersebut, karena sering kali kesulitan dalam pengurusan akta kelahiran.
“Kalau yang muda menikah siri lalu punya anak, anaknya nanti yang bermasalah. Tidak bisa dicatat karena tidak ada bukti pernikahan resmi,” ungkapnya.
Husni menambahkan, praktik pernikahan siri di kalangan ASN yang ditinggalkan karena meninggal oleh salah satu pihak ini bisa berdampak pada keuangan negara karena berpotensi menimbulkan penyalahgunaan pensiun.
“Yang seperti itu jelas merugikan, seharusnya ketika seseorang sudah menikah lagi, ada aturan bahwa hak pensiunnya harus dilepas. Kalau tidak, itu termasuk bentuk kebohongan kepada negara,” tandasnya.