PERISTIWA

Fenomena Kemarau Basah di Trenggalek, Pakar Jelaskan Dari Pranatamangsa

×

Fenomena Kemarau Basah di Trenggalek, Pakar Jelaskan Dari Pranatamangsa

Sebarkan artikel ini
Indonesia Masuki Musim kemarau
Istimewa

SUARA TRENGGALEK – Musim kemarau 2025 di Kabupaten Trenggalek berlangsung tidak seperti biasanya. Hujan masih kerap turun hingga awal Agustus, kondisi yang dikenal dengan istilah kemarau basah.

Penjelasan mengenai fenomena ini disampaikan Hernawan Widyatmiko, penulis buku Memahami Pranatamangsa. Menurutnya, kondisi cuaca tak lazim ini dapat dijelaskan melalui Pranatamangsa ilmu pengetahuan berbasis musim dan tanda-tanda alam yang diwariskan masyarakat Jawa.

“Ketidaknormalan ini terjadi karena beberapa sebab, seperti peredaran semu matahari, posisi bulan, hingga siklus tahunan,” kata Hernawan, Kamis (31/7/2025).

Ia menjelaskan, salah satu penyebab utama kemarau basah adalah posisi bumi yang saat ini berada di titik Aphelion jarak terjauh dari matahari.

Posisi ini membuat Pulau Jawa, khususnya bagian selatan, hanya menerima sedikit sinar matahari karena matahari sedang condong ke belahan bumi utara.

“Matahari sinarnya berhadapan langsung dengan belahan bumi utara, menyebabkan Pulau Jawa seakan-akan hanya sedikit mendapatkan sinar matahari,” jelas pria yang akrab disapa Pak Henk itu.

Fenomena ini memicu kondisi dingin yang dikenal masyarakat sebagai bediding. Dalam Pranatamangsa, kondisi ini disebut terjadi sejak 22 Juni hingga 1 Agustus atau dikenal sebagai mangsa siji. Pada masa tersebut, masyarakat, khususnya petani, dianjurkan menanam palawija.

Hernawan juga menyebut posisi bulan berpengaruh terhadap curah hujan, terutama saat bulan Suro. Ketika bulan berada di selatan dan dalam fase purnama, air laut di pesisir selatan akan pasang, menimbulkan mendung dan berpotensi hujan.

“Air laut yang pasang karena ditarik gravitasi bulan bisa menjadi mendung dan menurunkan hujan di wilayah pesisir selatan, termasuk Trenggalek,” katanya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sistem penanggalan mingguan dalam Pranatamangsa, yakni Wuku, juga menunjukkan potensi hujan di bulan Juli. Saat ini Wuku yang berlaku adalah Uye dan Menahil, keduanya mengindikasikan peluang turunnya hujan.

“Wuku dibuat oleh nenek moyang kita berdasarkan pengamatan cuaca setiap minggunya. Setiap Wuku punya makna dan pola iklim masing-masing,” ujarnya.

Meski demikian, Hernawan menegaskan Pranatamangsa bukanlah sistem ramalan, melainkan pedoman yang merekam pola musim secara turun-temurun.

Ia memperkirakan kemarau basah akan mulai berakhir pada minggu kedua atau ketiga Agustus.

“Pada tanggal 17–23 Agustus, yang merupakan minggu ketiga, Wukunya adalah Dukut dan selanjutnya Watugunung, yang berarti hujan sudah mulai jarang turun,” paparnya.

Ia menutup penjelasan dengan menekankan bahwa Pranatamangsa berfungsi sebagai panduan perilaku manusia dalam menyesuaikan diri terhadap siklus musim.

“Pranatamangsa bukan menentukan musim, tetapi ia adalah panduan perilaku manusia supaya bersandar pada musim,” pungkasnya.