SUARA TRENGGALEK – Penerapan pajak dan retribusi daerah di Kabupaten Trenggalek kembali menuai sorotan. Pasca disahkannya revisi Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Badan Keuangan Daerah (Bakeuda) dinilai melangkahi aturan dengan memberlakukan tarif sebelum adanya peraturan bupati (Perbup) sebagai regulasi pelaksana Peraturan Daerah (Perda).
Ketua Komisi I DPRD Trenggalek, Mochamad Husni Tahir Hamid menyebut penerapan dan pelaksanaan kebijakan kenaikan perpajakan semestinya menunggu terbitnya Perbup sebagaimana amanat Perda Nomor 8 Tahun 2023.
“Pelaksanaan pajak dan retribusi itu diatur melalui Perbup. Kalau Perbup-nya belum ada, ya belum bisa diberlakukan. Tapi kenyataannya sudah diterapkan, padahal Perbup baru masuk ke Bagian Hukum kemarin,” ujar Husni usai rapat pembahasan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), Sabtu (5/7/2025).
Husni menjelaskan bahwa Perda hanya mengatur batas maksimal tarif, misalnya tarif parkir maksimal Rp 3.000. Namun, rincian teknis seperti besaran tarif yang diterapkan dan penggunaan karcis berbayar seharusnya ditetapkan melalui Perbup.
“Misalnya di Perbup nanti diatur tarif parkir roda dua Rp 1.000, roda empat Rp 3.000, dan sebagainya. Tapi itu belum ada sekarang,” katanya.
Selain retribusi, Husni juga menyoroti mekanisme penentuan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Menurutnya, banyak warga tidak mengetahui bahwa mereka memiliki hak untuk mengajukan keberatan atas nilai BPHTB yang dianggap terlalu tinggi.
“Misalnya, seseorang membeli tanah dan dikenai BPHTB Rp 50 juta. Kalau tidak setuju, mestinya bisa bersurat ke bupati. Bukan dinegosiasi langsung dengan Bakeuda,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa penetapan nilai BPHTB merupakan kewenangan bupati, bukan hasil kesepakatan antara warga dan petugas. Karena semua pelaksanaan harus berdasarkan undang-undang.
“Bakeuda tidak berwenang melakukan negosiasi. Semua kewenangan pejabat publik harus berdasarkan perintah undang-undang,” tegasnya.
Husni memperingatkan bahwa kebijakan yang dijalankan tanpa dasar hukum yang sah bisa menimbulkan pelanggaran administrasi dan merugikan masyarakat.
“Kalau ada yang memungut tanpa dasar peraturan, coba ditanyakan, peraturan apa yang memerintahkannya? Kalau tidak ada, itu bukan pembodohan, tapi memang bodoh,” ucapnya.
Komisi I mendesak pemerintah daerah segera menyelesaikan penyusunan Perbup agar pelaksanaan Perda PDRD memiliki dasar hukum yang jelas. Bakeuda juga diminta tidak lagi menerapkan kebijakan tanpa regulasi yang sah.
“Jangan sampai masyarakat terus dirugikan karena ketidaktahuan aturan. Pemerintah daerah harus tertib regulasi,” pungkas Husni.
Sebelumnya, Komisi II DPRD Trenggalek juga menyoroti belum diterbitkannya Peraturan Bupati (Perbup) sebagai turunan dari Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang telah disahkan sejak Desember 2023.
Muginto, Ketua Komisi II DPRD Trenggalek menegaskan, sesuai peraturan yang berlaku, Perbup harus diterbitkan 6 bulan setelah Perda disahkan.
Menurutnya, keberadaan Perbup sangat penting sebagai dasar hukum pelaksanaan penarikan retribusi dan pajak daerah seperti Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta pajak air tanah.
“Namun hingga pertengahan 2025, peraturan tersebut belum juga diterbitkan. Bahasanya masih proses, berarti kan belum ada. Padahal sesuai ketentuan, maksimal enam bulan setelah Perda disahkan harus sudah ditindaklanjuti dengan Perbup,” jelasnya.
Mugianto menyebut keterlambatan ini bisa disebut sebagai bentuk kelalaian. Ia meminta agar proses penyusunan Perbup segera dipercepat agar ada kepastian hukum dalam pengelolaan pendapatan daerah.