SUARA TRENGGALEK – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Saldi Isra, menegaskan bahwa perubahan UUD 1945 bukan satu-satunya solusi untuk mengatasi celah dalam konstitusi.
Hal itu ia sampaikan dalam Seminar Konstitusi bertema Dialektika Konstitusi: Refleksi UUD 1945 Menjelang 25 Tahun Reformasi Konstitusi yang digelar MPR RI di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (21/8/2025).
“Biasanya dibangun tradisi positif yang dikenal dengan konvensi ketatanegaraan,” ujar Saldi. Menurutnya, sekomplet apapun konstitusi dirumuskan, tetap tidak bisa menjawab perkembangan ketatanegaraan. Jika UUD diubah terus-menerus, maka tidak berbeda dengan undang-undang biasa.
Saldi menjelaskan, konvensi ketatanegaraan dapat berupa pertemuan rutin antar lembaga negara. Meski tidak diatur dalam UUD, tradisi tersebut dapat menutup ruang atau celah yang ada. Alternatif lain, kata dia, adalah melalui penafsiran hakim.
MK kini tidak hanya memutus inkonstitusional atau tidak, melainkan memberi pemaknaan norma undang-undang agar tetap relevan dengan dinamika ketatanegaraan.
“Kalau ada kelemahan-kelemahan di konstitusi dan itu pasti ada, kita harus mulai membangun tradisi menutup itu tanpa harus berpikir dulu mengubah konstitusi,” tuturnya.
Saldi juga menekankan pentingnya pemahaman konstitusi secara utuh. Warga negara, kata dia, perlu memahami UUD 1945 berikut empat tahap amandemen pada 1999–2002, bukan hanya dari satu naskah perubahan.
Di sisi lain, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie menilai hasil reformasi konstitusi perlu dievaluasi menyeluruh. Ia mengusulkan Amendemen Kelima untuk menjawab tantangan global dan memperkuat sistem ketatanegaraan, meski perubahan tidak boleh dipaksakan terlalu luas.
Menurut Jimly, isu strategis yang perlu diubah meliputi penataan ulang MPR, DPR, dan DPD; evaluasi sistem pemilu presiden dan kepala daerah; penguatan demokrasi Pancasila; pembentukan Mahkamah Etika Nasional; serta penguatan ekonomi Pancasila dan penguasaan wilayah udara NKRI.
Sementara itu, Ketua MPR RI Ahmad Muzani menegaskan MPR memiliki kewenangan penuh untuk melakukan amendemen UUD. Ia menyebut Seminar Konstitusi menjadi ruang mendengar masukan masyarakat.
“Banyak akademisi, tokoh-tokoh, dan kalangan lain yang menyuarakan perubahan UUD. Pemikiran-pemikiran itu kita harus dengarkan,” kata Muzani.
Seminar ini dihadiri Wakil Ketua MPR Bambang Wuryanto, Rusdi Kirana, Hidayat Nur Wahid, mantan PAH I MPR RI Jacob Tobing, pimpinan fraksi dan kelompok DPD, badan-badan MPR, serta dosen dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.