SUARA TRENGGALEK – Pendiri Yayasan Inklusif Trenggalek, Taryaningsih menilai dukungan pemerintah terhadap penyerapan tenaga kerja penyandang disabilitas masih perlu diperkuat.
Meski secara regulasi sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, namun penerapan di lapangan masih belum maksimal.
Tarya biasa disapa menyampaikan bahwa dalam pasal 53 ayat 1 dan 2, disebutkan bahwa BUMN atau BUMD wajib mempekerjakan penyandang disabilitas minimal 2 persen dari total karyawan.
Sedangkan perusahaan swasta sebesar 1 persen. Namun, implementasinya saat ini dinilai masih belum maksimal.
“Kalau secara regulasi memang sudah ada, cuma di lapangan pemerintah harus lebih mendorong semua pihak, baik BUMN, BUMD, maupun swasta, untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi disabilitas,” ujar Taryaningsih, Kamis (30/10/2025).
Ia juga mencontohkan, dalam rekrutmen CPNS, banyak formasi disabilitas diisi oleh pelamar dari luar Trenggalek karena penyandang disabilitas lokal tidak memenuhi kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan.
“Yang dibutuhkan kebanyakan S1, sementara penyandang disabilitas yang kuliah di Trenggalek masih sedikit. Harusnya formasi disesuaikan dengan realitas di lapangan, misalnya lulusan SMA atau sederajat,” tambahnya.
Taryaningsih juga berharap kepada pemerintah daerah menyediakan beasiswa bagi penyandang disabilitas agar memiliki kesempatan yang sama dalam pendidikan tinggi.
“Kalau memang formasinya harus S1, ya kasih beasiswa. Misalnya satu desa satu sarjana disabilitas. Itu bisa membantu saat ada formasi kerja,” ucapnya.
Selain persoalan pendidikan, ia mengungkapkan bahwa diskriminasi terhadap pekerja disabilitas saat ini juga masih terjadi.
Penyandang disabilitas fisik atau tunarungu lebih sering diterima bekerja, sedangkan disabilitas mental dan intelektual jarang mendapat kesempatan.
“Padahal di luar negeri disabilitas intelektual juga bisa bekerja, misalnya untuk tugas sederhana seperti menempel stiker atau mengemas barang,” jelasnya.
Ia menambahkan, sejumlah negara memberi insentif kepada perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas, seperti melalui dana CSR atau subsidi gaji dari pemerintah.
Untuk sektor swasta, Taryaningsih menilai pemerintah perlu berperan aktif mendorong pemenuhan kuota satu persen bagi tenaga kerja disabilitas.
“Mungkin pemerintah bisa memberi insentif, misalnya keringanan pajak agar perusahaan mau mempekerjakan disabilitas,” ujarnya.
Meski demikian, ia mengakui masih sedikit perusahaan di Trenggalek yang menerapkan kebijakan inklusif.
“Yang saya tahu dulu di pabrik wowin ada enam karyawan disabilitas, di pabrik rokok juga ada. Tapi banyak yang keluar karena gajinya kecil atau tidak sesuai. Jadi mental dan ketahanan kerja teman-teman disabilitas juga perlu diperkuat,” pungkasnya.











