SUARA TRENGGALEK – Tunjangan Hari Raya (THR) telah menjadi bagian penting dalam budaya kerja di Indonesia. Setiap menjelang hari raya, pegawai menerima tunjangan sebagai bentuk apresiasi sekaligus dukungan untuk merayakan hari besar.
Awalnya, THR hanya merupakan tradisi, tetapi seiring waktu berkembang menjadi kewajiban hukum yang menjamin hak pekerja. Pemerintah menerapkan aturan serta pengawasan ketat untuk memastikan setiap perusahaan memenuhi kewajiban ini.
Sejarah THR di Indonesia
Dilansir dari Antara, Rabu (2/4/2025), THR pertama kali diperkenalkan pada tahun 1950 oleh Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo.
Saat itu, THR diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan mereka, meskipun berbentuk pinjaman yang harus dikembalikan.
Namun, kebijakan ini memicu ketidakpuasan di kalangan buruh yang merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sama. Puncaknya terjadi pada 13 Februari 1952, ketika para buruh menggelar aksi mogok untuk menuntut hak mereka atas THR.
Setelah berbagai perjuangan, pemerintah akhirnya menetapkan kebijakan yang lebih adil. Pada tahun 1994, pemberian THR kepada pekerja swasta diatur melalui Peraturan Menteri No. 04/1994.
Kemudian, pada tahun 2003, Undang-Undang No. 13 tentang Ketenagakerjaan mengukuhkan hak pekerja atas THR, dengan ketentuan bahwa setiap pekerja yang telah bekerja lebih dari tiga bulan wajib menerima THR yang harus dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya.
THR Masa Kini: Semangat Gotong Royong
Saat ini, pemberian THR semakin berkembang dan lebih inklusif, tidak hanya untuk pekerja formal tetapi juga bagi berbagai kalangan lainnya.
Tradisi ini mencerminkan nilai kebersamaan serta gotong royong yang kuat dalam masyarakat Indonesia, sekaligus memperkuat hubungan sosial dan ekonomi menjelang hari raya.