SUARA TRENGGALEK – Peringatan Hari Pahlawan setiap 10 November menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk mengenang perjuangan rakyat Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan dari ancaman penjajahan.
Hari Pahlawan tidak sekadar seremoni tahunan, melainkan simbol semangat juang dan pengorbanan. Peringatan ini menjadi pengingat bahwa kemerdekaan diraih melalui perjuangan dan darah para pahlawan, bukan hadiah semata.
Dikutip dari buku Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah karya Sutomo (2008), peristiwa heroik itu terjadi tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan. Saat itu, bangsa Indonesia masih harus menghadapi pasukan Sekutu yang datang bersama Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Kedatangan Sekutu awalnya bertujuan melucuti senjata tentara Jepang, namun terselip misi lain untuk mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Hal ini memicu kemarahan rakyat Surabaya yang bertekad mempertahankan kemerdekaan.
Semangat anti-penjajahan menyebar di kalangan pemuda, santri, dan mantan tentara PETA serta Heiho. Kota Surabaya pun menjadi pusat perlawanan terhadap kembalinya kolonialisme.
Salah satu peristiwa penting terjadi pada 18 September 1945 di Hotel Yamato, ketika bendera Belanda dikibarkan di atap gedung. Dua pemuda, Hariyono dan Koesno Wibowo, memanjat atap hotel dan merobek bagian biru bendera Belanda hingga tersisa warna merah putih.
Aksi di Hotel Yamato menjadi simbol keberanian rakyat Surabaya dalam mempertahankan kehormatan bangsa. Dari sanalah semangat perlawanan rakyat semakin menyala.
Ketegangan memuncak setelah pasukan Inggris, bagian dari Sekutu, tiba dan menuntut rakyat menyerahkan senjata rampasan dari Jepang. Penolakan rakyat memicu bentrokan besar, termasuk insiden di penjara Kalisosok pada 27 Oktober 1945.
Dalam situasi genting itu, muncul tokoh muda Sutomo atau Bung Tomo yang membakar semangat juang melalui siaran radio dengan seruan “Allahu Akbar!” yang menggema di seluruh Surabaya. Seruan itu menjadi pemicu perlawanan rakyat terhadap kekuatan militer Sekutu yang jauh lebih modern.
Puncak pertempuran terjadi pada 10 November 1945 setelah ultimatum Inggris diabaikan. Pasukan Sekutu membombardir kota dari darat, laut, dan udara selama berhari-hari. Ribuan rakyat Surabaya gugur, namun semangat juang mereka tak pernah padam.
Dari peristiwa tersebut, lahir tekad kuat mempertahankan kemerdekaan hingga titik darah penghabisan. Keberanian rakyat Surabaya menjadi simbol perjuangan nasional dan membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia siap berdaulat.
Sebagai bentuk penghormatan, Pemerintah Indonesia menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 yang ditandatangani Presiden Soekarno.
Sejak itu, setiap 10 November diperingati dengan upacara, tabur bunga, dan refleksi perjuangan. Peringatan ini menjadi wujud penghormatan terhadap jasa para pahlawan yang telah berkorban untuk bangsa.
Hari Pahlawan juga menjadi momentum bagi generasi muda untuk meneladani nilai-nilai perjuangan keberanian, persatuan, dan pengorbanan yang tetap relevan menghadapi tantangan zaman modern.
Di era digital, perjuangan tidak lagi di medan perang, tetapi dalam menjaga integritas, persatuan, dan kemajuan bangsa. Semangat pantang menyerah para pahlawan menjadi inspirasi untuk terus berkarya dan membangun negeri.
Hari Pahlawan mengingatkan bahwa setiap generasi memiliki tanggung jawab menjaga Indonesia. Tugas generasi kini adalah meneruskan perjuangan itu dengan integritas, karya nyata, dan semangat kebangsaan.











