PERISTIWA

Penyebab Bencana Alam Banjir dan Tanah Longsor Akibat Kerusakan Alam

×

Penyebab Bencana Alam Banjir dan Tanah Longsor Akibat Kerusakan Alam

Sebarkan artikel ini
Banjir
Istimewa

SUARA TRENGGALEK – Kerusakan lingkungan disebut menjadi faktor utama pemicu bencana banjir dan tanah longsor di Indonesia dalam satu dekade terakhir.

Berbagai penelitian akademis menunjukkan lebih dari 70–80 persen kejadian berasal dari aktivitas manusia, bukan semata fenomena alam.

Data BNPB mencatat rata-rata 2.500–3.000 kejadian banjir dan longsor terjadi setiap tahun periode 2015–2024, dengan kerugian mencapai puluhan triliun rupiah.

Kerusakan hutan menjadi penyebab paling dominan. Deforestasi nasional 2001–2022 mencapai 9,6 juta hektare, membuat daya serap air tanah menurun drastis.

Studi IPB University 2021 menyebut setiap penurunan 10 persen tutupan hutan di daerah tangkapan air dapat meningkatkan limpasan permukaan 40–60 persen. Kondisi itu memicu banjir bandang di berbagai daerah.

Degradasi lahan juga turut memperparah bencana. Penelitian Universitas Padjadjaran 2022 menunjukkan lahan kritis seluas 28 juta hektare menyebabkan erosi 40–80 ton per hektare setiap tahun.

Akibatnya, sungai dipenuhi sedimen dan kapasitasnya menurun hingga 50 persen, membuat air mudah meluap saat hujan lebat.

Kerusakan daerah resapan turut memperburuk situasi. BRIN mencatat hilangnya 2,5 juta hektare mangrove sejak 1980-an mengurangi kemampuan kawasan pesisir menahan air.

Wetland dan hutan rawa yang berfungsi sebagai “spons alam” semakin menyusut, memicu banjir rob di pesisir Jawa serta banjir gambut di Sumatera dan Kalimantan.

Perubahan iklim berperan sebagai faktor penguat. IPCC AR6 melaporkan frekuensi hujan ekstrem di Indonesia meningkat 20–30 persen sejak 1980-an. Namun dampaknya makin parah karena kondisi lahan sudah rusak.

Berbagai solusi berbasis ilmu pengetahuan ditawarkan akademisi. Restorasi ekosistem dinilai langkah mendesak, melalui reboisasi spesies lokal dan rekayasa bio-teknik.

Studi ITB 2023 menyebut metode tersebut mampu menurunkan erosi hingga 85 persen dalam lima tahun. Penguatan daerah tangkapan air serta pembangunan embung dan sumur resapan juga diperlukan.

Penelitian UI 2022 mencatat 1 meter kubik embung dapat menurunkan volume banjir hingga 0,9 meter kubik.

Rehabilitasi sungai berbasis ekologi menjadi opsi lain, termasuk memperlebar badan sungai, membangun zona penyangga vegetasi, dan menertibkan bangunan liar.

Universitas Brawijaya 2021 melaporkan pendekatan tersebut meningkatkan kapasitas Sungai Brantas hingga 60 persen.

Para ahli menekankan pentingnya penegakan hukum dan tata ruang ketat, termasuk moratorium konversi hutan primer dan lahan gambut.

Pendekatan komunitas melalui program Desa Tangguh Bencana juga terbukti efektif. Model yang dikembangkan UGM sejak 2018 menurunkan kejadian longsor hingga 70 persen di 120 desa percontohan.

Akademisi menilai banjir dan longsor bukan takdir, melainkan akibat langsung dari pengelolaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan. Selama kerusakan lahan terus berlangsung, risiko bencana diprediksi makin besar.