SUARA TRENGGALEK – RSUD dr Soedomo Trenggalek memastikan hingga kini belum ditemukan kasus gangguan pendengaran pada masyarakat yang diakibatkan paparan suara bising. Meski demikian, masyarakat diimbau tetap mewaspadai bahaya kebisingan berlebihan.
Dokter Poli Telinga, Hidung, Tenggorokan (THT) RSUD dr Soedomo, dr Sabilarrusydi Sp.THT-KL, mengatakan dalam dua tahun terakhir penyakit telinga yang paling sering ditemui adalah kotoran telinga (cerumen) dan infeksi liang telinga (otitis eksterna).
“Memang ada peningkatan, tetapi peningkatannya pada penyakit yang sama. Sampai saat ini kita belum menerima pasien dengan gangguan pendengaran karena paparan bising,” ujarnya, Selasa (12/8/2025).
Kasus tersebut ditemukan pada semua kelompok usia, mulai anak-anak, remaja hingga lansia. Menurutnya, jika ada pasien dengan dugaan gangguan pendengaran, akan dilakukan pemeriksaan lanjutan. Namun, hasilnya belum pernah mengarah pada trauma bising.
Sabilarrusydi menegaskan, paparan suara bising tetap berisiko merusak saraf pendengaran. Berdasarkan Permenaker Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Lingkungan Kerja, suara 85 desibel hanya aman didengar maksimal 8 jam. Jika naik menjadi 88 desibel, waktu aman berkurang menjadi 4 jam, 91 desibel hanya 2 jam, 94 desibel 1 jam, dan 97 desibel tinggal setengah jam.
Ia juga menyoroti kebijakan Pemprov Jawa Timur yang mengizinkan penggunaan pengeras suara hingga 120 desibel. “120 desibel itu danger area. Hanya boleh 10 detik mendengar suara dengan kekuatan seperti itu, setelah itu harus menjauh karena pasti akan berpengaruh pada saraf pendengaran,” tegasnya.
Sabilarrusydi menambahkan, level kebisingan 120 desibel biasanya ditemukan pada konser musik atau hajatan dengan sound system berdaya tinggi. “Kalau di konser mestinya panitia mengukur dengan sound level meter. Begitu juga di hajatan, apalagi kalau tetangga mendengar terus menerus, risikonya besar pada saraf pendengaran,” pungkasnya.