SUARA TRENGGALEK – Hari Anak Nasional 2025 menjadi momen refleksi atas masih minimnya ruang aman bagi anak-anak Indonesia. Di Kecamatan Bendungan, Trenggalek, kisah seorang pelajar berinisial N (14) menjadi potret nyata.
Perjuangan anak yang lahir dari keluarga petani miskin itu tak hanya bertarung melawan penyakit bawaan sejak lahir, tetapi juga menghadapi perundungan dari teman sekolahnya.
N yang merupakan pelajar kelas 2 SMP di Trenggalek itu mengaku pernah mengalami bully saat duduk di kelas 1. Ia sempat dikucilkan dan dihina karena kondisi kesehatannya. Hal ini membuatnya enggan masuk sekolah selama beberapa hari.
“Dulu itu pas kelas 1 SMP saya dibully. Teman-teman ada yang ngatain, bahkan sempat nyindir soal sakit saya. Saya jadi minder banget waktu itu,” ujar N kepada wartawan.
Pelajar di Trenggalek Korban Bully
Awalnya, diceritakan N, dirinya hanya berpura-pura sakit agar tak masuk sekolah. Namun, beban psikologis yang ia tanggung membuatnya akhirnya terbuka kepada ayahnya.
Sang ayah yang biasa disapa Yanto (38), kemudian datang ke sekolah untuk melaporkan kondisi anaknya, hasilnya sekolah menindaklanjuti laporan tersebut. Setelah itu, teman-teman N meminta maaf dan ia mulai kembali bersekolah.
Namun perjuangan N tak berhenti di situ. Ia harus menjalani dua kali operasi pada 2025. Operasi pertama dilakukan pada Februari, disusul operasi kedua menjelang Ramadhan. Total biaya pengobatan mencapai hampir Rp 50 juta.
“Waktu itu saya udah nggak mikir apa-apa lagi. Pokoknya anak saya harus disembuhkan. Meski nggak ada bantuan, saya tetap usaha,” kata Yanto, seorang petani yang mengandalkan penghasilan dari lahan kecil di perbukitan.
N baru sempat menjadi peserta KIS sejak duduk di bangku kelas 5 SD. Ia juga menceritakan untuk proses pengajuan KIS tersebut dibantu oleh salah satu gurunya di sekolah dasar.
Menderita Sakit Sejak Kecil
Namun saat akan berobat, lamanya proses jadwal operasi yang mencapai bulan, membuat keluarga memilih jalur pengobatan mandiri. Tak ada bantuan penuh dari negara, namun sang ayah tetap bertekad menyelamatkan anaknya.
“Saya baru tahu pas dia enggak mau masuk sekolah. Dia bilang sakit, tapi lama-lama ngaku juga kalau dibully. Ya saya langsung ke sekolah, ngomong ke gurunya soal kondisi anak saya,” tutur Mukaryanto.
Kini, N mulai kembali pulih. Meski luka batin belum sepenuhnya sembuh, ia telah berani kembali ke sekolah dan memupuk cita-cita untuk menjadi dokter.
“Saya pengen jadi dokter yang bisa bantu orang lain juga. Karena saya juga pernah ngerasain ditolong,” ucap N kembali bercerita kepada awak media sambil tersenyum tipis.
Hari Anak Nasional 2025
Mukaryanto berharap tidak ada lagi anak-anak lain yang mengalami perlakuan serupa. Ia mengingatkan masyarakat untuk tidak menghakimi anak-anak yang memiliki kondisi berbeda.
“Anak saya nggak salah. Dia cuma ingin sekolah kayak anak-anak lain. Saya minta siapa pun yang lihat anak lain beda, jangan langsung ngecap atau mengejek. Karena mereka enggak tahu apa yang sedang ditanggung,” tegasnya.
Kisah N menjadi pengingat bahwa perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab keluarga, tetapi juga sekolah dan negara. Tidak menutup kemungkinan kejadian N ini juga menimpa anak-anak lainnya.
Di tengah keterbatasan ekonomi dan sistem jaminan kesehatan yang belum sepenuhnya berpihak, anak-anak seperti N terus berjuang dengan harapan dan senyum yang pelan-pelan kembali merekah.