SUARA TRENGGALEK – Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Namun, langkah tersebut menuai kritik tajam dari DPC GMNI Trenggalek yang mempertanyakan keadilan sosial dalam penerapannya.
Ketua DPC GMNI Trenggalek, M. Sodiq Fauzi, menyatakan bahwa kebijakan tersebut cenderung menambah beban masyarakat bawah.
“Kami mempertanyakan, apakah kenaikan PPN ini benar-benar untuk kesejahteraan rakyat atau sekadar untuk menutupi defisit anggaran yang tak kunjung terselesaikan?” tegasnya.
Pihaknya juga menyoroti kebijakan pengampunan pajak yang dianggap lebih menguntungkan kelompok ekonomi besar.
“Penghapusan tunggakan pajak konglomerat melalui tax amnesty menunjukkan adanya ketidakadilan. Sementara itu, masyarakat kecil dan menengah justru dikejar melalui kenaikan PPN,” ujarnya.
Menurutnya, kenaikan PPN ini merupakan langkah keliru yang hanya akan memperburuk ketidakadilan sistematis. Dirinya juga menyebut bahwa kebijakan tersebut berpotensi menciptakan masyarakat miskin baru dan memicu masalah sosial akibat meningkatnya biaya hidup.
Dirinya menyampaikan bahwa kenaikan PPN akan memengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat lantaran harga barang dan jasa yang terkena PPN akan naik, sehingga melemahkan daya beli masyarakat.
“Biaya produksi dan konsumsi akan meningkat, permintaan akan melambat, dan penjualan menjadi tidak optimal. Bahkan, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terus meningkat,” paparnya.
Pihkanya juga menilai kebijakan ini bertentangan dengan sejumlah pasal dalam UUD 1945. Dirinya menyebut Pasal 28D ayat 1 tentang hak atas perlakuan yang adil di hadapan hukum, Pasal 27 ayat 2 tentang hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta Pasal 28H ayat 1 tentang hak hidup sejahtera.
“Kenaikan PPN ini bertentangan dengan amanat konstitusi yang menuntut keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah seharusnya tidak mengabaikan tanggung jawab tersebut,” tambahnya.
Atas dasar pertimbangan tersebut, pihaknya menyatakan sikap tegas dengan menyampikan tiga pernyataan.
Pihaknya menolak kenaikan PPN 12 persen, mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk membatalkan rencana kenaikan PPN tersebut karena dinilai sangat membebani masyarakat, dan mengecam kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro-rakyat dan lebih berpihak pada kelompok ekonomi besar.