SUARA TRENGGALEK – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mendukung kebijakan moratorium kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) selama tiga tahun ke depan.
Langkah ini dinilai penting untuk memberi ruang pemulihan bagi industri hasil tembakau (IHT) setelah Kementerian Keuangan memutuskan tidak menaikkan tarif cukai pada 2026.
Menurut Tauhid, kebijakan tersebut merupakan strategi yang tepat untuk menjaga stabilitas industri sekaligus mencegah potensi kehilangan penerimaan negara akibat meningkatnya peredaran rokok ilegal.
“Rokok ilegal itu jumlahnya signifikan. Kalau 5 persen saja dari 300 miliar batang, berarti sekitar 15 miliar batang. Itu bisa setara 15 triliun rupiah uang negara yang hilang,” ujarnya, Jumat (10/10/2025).
Ia menilai, moratorium tarif cukai akan memberi waktu bagi pelaku industri melakukan penyesuaian agar sektor tetap bertahan. “Saya sepakat untuk sementara tarif cukainya tidak dinaikkan dulu. Kenaikan yang terlalu tinggi justru bisa menurunkan penerimaan negara,” tambah Tauhid.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), K. Mudi, menyambut positif keputusan Menteri Keuangan Purbaya yang tidak menaikkan tarif CHT tahun depan.
Ia menilai langkah tersebut menunjukkan keberpihakan terhadap keberlangsungan industri tembakau nasional.
“Salah satu cara menyelamatkan industri tembakau adalah dengan tidak menaikkan cukai dulu. Penjualan rokok sedang tidak baik, sementara rokok ilegal marak. Kebijakan ini perlu diperbaiki agar seimbang,” jelas Mudi.
Ia menambahkan, para petani saat ini tengah menghadapi tekanan akibat turunnya serapan tembakau oleh pabrikan. Karena itu, Mudi mendukung usulan moratorium kenaikan tarif cukai selama tiga tahun ke depan sebagai solusi jangka menengah.
“Semua pihak harus didengar petani, pelaku industri, maupun sektor kesehatan agar keputusan terkait cukai lebih proporsional,” pungkasnya.