SUARA TRENGGALEK – Di tengah minimnya kesadaran masyarakat daerah terhadap pentingnya peran arsitek dalam perencanaan bangunan, Afrandi Karsanifan (32) satu-satunya arsitek bersertifikat di Kabupaten Trenggalek, terus mengedukasi warga soal manfaat menggunakan jasa arsitek.
Afrandi merupakan lulusan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, yang telah mengantongi Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA) dan resmi menyandang gelar Arsitek (Ar.) pada awal 2025.
Ia menyebut salah satu tantangan utama profesinya adalah anggapan masyarakat bahwa menggunakan jasa arsitek hanya akan menambah biaya pembangunan.
“Banyak yang mengira pakai arsitek itu mahal. Padahal justru bisa lebih murah karena kita bisa merencanakan anggaran dan memilih material yang tepat,” ujar Afrandi, Sabtu (26/7/2025).
Menurutnya, perencanaan yang matang bersama arsitek juga mampu menekan risiko revisi selama pembangunan, sehingga menghemat waktu dan biaya.
Demi mengenalkan profesi arsitek, Afrandi kerap menggarap proyek sosial secara gratis. Ia pernah membantu desain masjid, pondok pesantren, rumah tahfidz, dan sekolah tanpa memungut bayaran.
“Sebagai bentuk pengabdian, saya ingin ilmu saya bermanfaat. Ini juga bagian dari kode etik arsitek,” imbuhnya.
Afrandi mengaku bangga saat hasil rancangannya diaplikasikan warga secara gotong royong, terutama untuk pembangunan rumah ibadah.
Cita-citanya menjadi arsitek muncul sejak SD, terinspirasi oleh Presiden Soekarno dan BJ Habibie. Saat kuliah di Malang, ia juga aktif sebagai santri di Pondok Pesantren Anwarul Huda.
“Dari pondok, saya belajar banyak nilai Islam yang juga bisa diterapkan dalam arsitektur, seperti arah tempat tidur sesuai sunah, dan larangan membuang tampias ke rumah tetangga,” jelas warga Desa Sumberingin, Kecamatan Karangan ini.
Sejak menggeluti dunia arsitektur, Afrandi telah menangani berbagai klien dari Trenggalek dan luar daerah.
Salah satu proyek yang paling ia kenang adalah pembangunan rumah senilai Rp 500 juta di Pacitan pada 2018, dengan desain yang mengeksplorasi material dari Yogyakarta seperti baja, dinding ekspos, dan atap Alderon.
Menurut Afrandi, Trenggalek memiliki potensi lokal yang besar untuk dikembangkan, seperti industri batu bata, genteng, dan batu kali. “Bangunan sederhana dengan material lokal sangat cocok di Trenggalek. Jangan tergantung pada material pabrikan,” ucapnya.
Ia berharap ke depan akan lebih banyak arsitek profesional bermunculan di Trenggalek dan membentuk komunitas yang bisa berkontribusi dalam pengambilan kebijakan pembangunan, penataan kota, dan penyelesaian berbagai persoalan daerah.
“Mimpi saya, arsitek Trenggalek bisa berperan aktif membantu kemajuan daerah,” pungkas pendiri Hade Arsitek Studio tersebut.