SUARA TRENGGALEK – Pemerintah Indonesia dinilai sudah saatnya membahas kebijakan redenominasi rupiah untuk menyederhanakan sistem pembayaran nasional dan meningkatkan efisiensi ekonomi.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menyatakan hal itu dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (12/11/2025). Ia mendukung langkah redenominasi, namun menegaskan pelaksanaannya harus dilakukan dengan hati-hati dan melalui tahapan yang matang.
“Inilah saatnya kita melangkah tenang untuk redenominasi. Kita berada di kondisi yang siap, namun ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk kesuksesan redenominasi,” ujar Fakhrul.
Ia menjelaskan, redenominasi bukan sekadar memotong tiga angka nol, tetapi juga menata ulang sistem pembayaran nasional. Salah satu hal penting menurutnya adalah menghidupkan kembali satuan sen sebagai simbol ketelitian ekonomi.
“Redenominasi bukan sekadar menyederhanakan angka, tapi juga mendatangkan kewajiban untuk menghidupkan kembali satuan kecil yang dulu menjaga keseimbangan ekonomi rakyat,” katanya.
Fakhrul menilai keberadaan satuan sen dapat membantu mencegah pembulatan harga ke atas, menjaga keadilan transaksi, serta menekan potensi inflasi, khususnya di sektor perdagangan kecil.
Ia menambahkan, redenominasi hanya akan berhasil jika dilakukan di tengah kondisi ekonomi yang stabil dengan inflasi rendah. Ia mencontohkan Ghana (2007) dan Turki (2005) sebagai negara yang sukses karena melakukannya di saat stabilitas makro terjaga, sementara Zimbabwe gagal pada 2008 karena inflasi ekstrem.
Selain itu, Fakhrul menyebut redenominasi perlu disinergikan dengan rencana peluncuran rupiah digital (Central Bank Digital Currency / CBDC) oleh Bank Indonesia. Dengan nominal yang lebih sederhana, penerapan CBDC dinilai akan lebih efisien untuk transaksi mikro dan lintas wilayah.
“Studi Bank for International Settlements menekankan bahwa penyederhanaan nominal mata uang meningkatkan simplicity, interoperability, dan efficiency dalam sistem pembayaran ritel,” ujarnya.
Fakhrul menilai kondisi ekonomi Indonesia saat ini cukup ideal untuk mulai merancang redenominasi, dengan inflasi di bawah 3 persen dan stabilitas keuangan yang terjaga.
“Redenominasi dalam situasi seperti ini adalah tindakan anticipatory, bukan reaktif,” tegasnya.
Meski begitu, ia mengingatkan pentingnya masa transisi yang cukup panjang agar masyarakat tidak kebingungan. “Kita butuh waktu transisi di masyarakat untuk mencegah kebingungan. Dan ini membutuhkan kolaborasi pemerintah dan seluruh otoritas dalam komunikasi yang cermat dan tepat,” ujarnya.
Saat ini pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah atau Redenominasi, yang ditargetkan rampung pada 2027.
Kebijakan tersebut masuk dalam empat RUU prioritas Kementerian Keuangan dalam Rencana Strategis 2025–2029 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025.
Dalam PMK itu dijelaskan bahwa RUU Redenominasi diperlukan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, menjaga daya beli masyarakat, serta memperkuat kredibilitas rupiah di tengah dinamika ekonomi global.











